Jumat, 01 Mei 2015

The Effect of Blawan Plantation Towards The Social Economy of The People in Kalianyar Village Sempol Bondowoso in 1998-2012

Nurmaria
Email: maria.nur54@yahoo.com


PENDAHULUAN
Perkebunan lahir dan berkembang di Indonesia pada zaman Pemerintahan Kolonial Belanda. Belanda mengenalkan perkebunan di Indonesia dengan menerapkan sistem tanam paksa pada tahun 1830, dengan cara mewajibkan setiap desa menanam tanaman komoditi ekspor, seperti kopi, tebu, dan nila di sebagian tanahnya (Sartono, 1994 : 65). Hasil dari tanaman tersebut, akan dijual sepenuhnya kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah ditentukan oleh pemerintah kolonial.
Sistem tanam paksa yang diterapkan oleh Gubernur Jenderal Van den Bosch, sangat membatasi dan menekan kaum pribumi, sehingga tidak ada perkembangan yang bebas dari sistem pasar untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi kaum pribumi. Oleh karena itu, Sistem Tanam Paksa dihapuskan dan diganti Sistem Sewa Tanah, dengan memberlakukan Undang-Undang Agraria tahun 1870. Diberlakukannya undang-undang tersebut, muncullah suatu keterbukaan bagi berbagai kalangan termasuk siapa saja yang memiliki modal untuk membuka perkebunan swasta di Indonesia.
Salah satu perkebunan swasta penghasil kopi yang namanya sudah dikenal masyarakat adalah Perkebunan Blawan yang berada di kawasan Gunung Ijen, lokasinya masuk dalam wilayah Desa Kalianyar, Kecamatan Sempol, Kabupaten Bondowoso, Propinsi Jawa Timur. Pada masa kemerdekaan, Pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan perkebunan milik Belanda, termasuk Perkebunan Blawan. Perusahaan perkebunan milik Belanda tersebut, kemudian menjelma menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pengelolaannya tidak lagi bermotif mencari keuntungan, namun lebih didorong oleh fungsi sosial untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Perkebunan Blawan adalah salah satu perusahaan negara yang bergerak di bidang produksi kopi, berjenis arabika sebagai produksi utamanya. Produksi dari Perkebunan Blawan dipasarkan ke berbagai wilayah baik di dalam negeri maupun di luar negeri misalnya Amerika Serikat, dan Belanda. Kopi Blawan yang diekspor dikenal dengan sebutan Java Coffee Blawan dan diakui sebagai specialty coffee oleh Specialty Coffee Association of America (SCAA) sejak tahun 1997, yang berarti kopi arabika di pasar internasional tersebut mempunyai citarasa khas dibandingkan kopi arabika pada umumnya.
Keberadaan Perkebunan Blawan menjadi penyokong kehidupan perekonomian masyarakat di Desa Kalianyar dari zaman kolonial, Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi, karena banyak menyerap tenaga kerja, baik laki-laki maupun perempuan, dalam proses penanaman, perawatan, pemetikan hingga pengolahan kopi menjadi sebuah produk yang siap dipasarkan. Penduduk di Desa Kalianyar menggantungkan kehidupan ekonominya dari perkebunan kopi, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya beberapa fasilitas yang diberikan perkebunan kepada para pekerja, misalnya masyarakat diperbolehkan menempati tanah milik perkebunan sebagai tempat tinggal dan juga tanah yang tidak ditanami kopi untuk bercocok tanam guna pemenuhan kehidupan sehari-hari, namun dengan konsekuensi masyarakat tersebut harus bekerja di Perkebunan Blawan.
Tenaga kerja pada Perkebunan Blawan, tidak dibatasi dari masyarakat Desa Kalianyar saja, namun keberadaan perkebunan juga dapat mendatangkan penduduk dari daerah lain untuk menjadi pekerja di Perkebunan Blawan. Misalnya, pada tahun 2004, ketika musim panen raya tiba, tenaga kerja perkebunan Blawan didatangkan dari luar daerah, yaitu mencapai sekitar 7000 tenaga kerja yang tersebar dalam sembilan Afdeling Perkebunan Blawan. Pekerja musiman ini, biasanya didatangkan dari Jember, Banyuwangi dan daerah sekitar lainnya.
Artikel ini berkaitan dengan keberadaan perkebunan yang berpengaruh kuat terhadap perubahan sosial ekonomi masyarakat di sekitar perkebunan, dengan menguraikan segala sesuatu yang berhubungan dengan sejarah berdirinya, perkembangan perkebunan, pengaruh perkebunan terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat Desa Kalianyar Kecamatan Sempol Kabupaten Bondowoso. Permasalahan yang ditetapkan dalam artikel ini adalah: (1) Faktor-faktor apa yang melatarbelakangi berdirinya Perkebunan Blawan di Desa Kalianyar? (2) Bagaimana perkembangan Perkebunan Blawan? (3) Apa dampak Perkebunan Blawan terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat Desa Kalianyar? Adapun tujuan penelitian ini adalah (1) Untuk menelusuri faktor-faktor yang melatarbelakangi berdirinya perkebunan Blawan di Desa Kalianyar; (2) Untuk mendeskripsikan perkembangan Perkebunan Blawan; (3) Untuk menjabarkan dampak Perkebunan Blawan terhadap kehidupan sosial-ekonomi masyarakat di Desa Kalianyar.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi-ekonomi. Pendekatan sosiologi-ekonomi yaitu suatu pendekatan yang menganalisis mengenai cara orang atau masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka terhadap barang dan jasa dengan menggunakan pendekatan atau perspektif analisis sosiologi. Sosiologi ekonomi dalam operasinya mengaplikasikan tradisi pendekatan sosiologi terhadap fenomena ekonomi (Sindung Haryanto, 2011: 18). Landasan teori yang digunakan adalah teori perubahan sosial, berkaitan dengan (1) sikap dan motivasi masyarakat, (2) ketidakpuasan masyarakat terhadap keadaan (Mudjia Rahardjo, 2007: 36-37). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah, yang meliputi lima tahap yaitu; pemilihan topik, pengumpulan sumber, verifikasi, interpretasi, historiografi. (Kuntowijoyo, 2005: 90).
Lingkup spasial yang ditentukan dalam artikel ini adalah Desa Kalianyar Kecamatan Sempol Kabupaten Bondowoso. Desa Kalianyar merupakan tempat keberadaan Pekebunan Blawan, sekaligus tempat dimana para pekerja perkebunan Blawan tinggal. Lingkup temporal atau batasan waktu yang ditetapkan yaitu dari tahun 1998-2012. Tahun 1998 diambil sebagai lingkup temporal awal karena bertepatan dengan tahun kelahiran Java Coffe Blawan yang merupakan produk andalan Perkebunan Blawan. Lahirnya Java Coffe Blawan ditandai dengan diakuinya sebagai specialty coffe oleh Specialty Coffee Association of America (SCAA). Tahun 2012 sebagai batas akhir penelitian karena pada bulan September tahun 2012, PTPN XII Perkebunan Blawan memperoleh penghargaan Utz Certified, yang ke sepuluh kalinya, hal tersebut menunjukkan bahwa PTPN XII Perkebunan Blawan mampu mempertahankan kualitas produksinya. Selain itu dalam kenyataannya Perkebunan Blawan tetap mampu berpengaruh terhadap perkembangan sosial-ekonomi masyarakat, dan para pekerja dengan maksimal merasakan hasil kerjanya dengan bukti terpenuhinya kebutuhan primer, sekunder, dan tersier di keluarga, serta lingkungannya.


1. Sejarah Perkebunan Blawan
Sistem perkebunan pada lahan tetap, telah berlangsung di Indonesia berabad-abad lamanya. Usianya pun cukup lama, yaitu berkisar antara 10 sampai 50 tahun, bahkan lebih. Panjangnya usia perkebunan dikarenakan sekali dibangun di suatu tempat, kebun dapat berlangsung secara terus-menerus dan tidak memerlukan sistem irigasi yang ribet dan teknologi yang berlebihan. Sama halnya dengan keberadaan Perkebunan Blawan di Desa Kalianyar, Kecamatan Sempol, Kabupaten Bondowoso. Apabila ditinjau dari segi historis, keberadaan Perkebunan Blawan sudah cukup tua.
Berawal pada tahun 1830, ketika Johannes van den Bosch diangkat sebagai Gubernur Jenderal di Indonesia, dan mendapat tugas pertama yang sangat mendesak, yaitu meningkatkan produksi tanaman ekspor yang tidak dapat dicapai oleh pemerintah sebelumnya. Tugas tersebut harus segera dilaksanakan oleh Johannes van den Bosch karena perekonomian Belanda sedang terbengkalai dengan menerapkan sistem tanam paksa.
Seiring dengan dilaksanakannya kebijakan tanam paksa di Indonesia, kaum pribumi mulai dikenalkan dengan aneka tanaman perkebunan yang mempunyai nilai jual tinggi dan merupakan tanaman komoditi ekspor, misalnya kopi, tebu, indigo (bahan pewarna), tembakau, lada, teh dan kayu manis. Tanaman komoditi ekspor tersebut ditanam di berbagai wilayah Indonesia khususnya Jawa, hanya sebagian kecil di daerah luar Jawa. Daerah pelaksanaan sistem tanam paksa di Jawa, misalnya mencakup 18 wilayah karesidenan, antara lain: Karesidenan Banten, Priyangan, Krawang, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Jepara, Rembang, Surabaya, Pasuruan, Besuki, Pacitan, Kedu, Bagelen, Banyumas, Madiun, dan Kediri (N.D Retnandari, 1991: 15). Pelaksaan kebijakan sistem tanam paksa ini, tidak sesuai dengan peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah kolonial, dalam kenyataannya penerapan sistem tanam paksa sangat membatasi dan menekan kaum pribumi, sehingga tidak ada perkembangan yang bebas dari sistem pasar untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi kaum pribumi.
Tahun 1870 sistem tanam paksa dihapuskan. Pengganti dari Sistem Tanam Paksa adalah diterapkannya Sistem Sewa Tanah, yaitu berlakunya Undang-Undang Agraria tahun 1870 oleh Engelbertus de Wall, yang membuka peluang bagi pengusaha swasta untuk membuka usaha di Indonesia. Pengusaha swasta yang akan menanamkan modalnya di Indonesia harus jeli melihat keadaan geografis serta demografis yang ada di wilayah Indonesia, karena mengingat wilayah Indonesia terdiri atas berbagai pulau yang mempunyai potensi masing-masing. Oleh karena itu, para pengusaha swasta mendatangkan aneka tanaman perkebunan yang akan ditanam dan dikembangkan di Indonesia sesuai dengan potensi tanah, misalnya kopi, tembakau, tebu, teh, karet, kelapa sawit, kakao, dan kelapa.
Keberadaan perkebunan-perkebunan yang tersebar diberbagai wilayah Indonesia, kebanyakan terdapat di daerah pedalaman yang sejuk dan belum dimanfaatkan oleh kaum pribumi. Salah satu daerah pedalaman yang dimanfaatkan oleh pengusaha swasta Belanda untuk mendirikan perkebunan besar adalah Besuki dan Malang (James. J. Spillane, 1990: 51). Sejak dibuka perkebunan di daerah tersebut, Karesidenan Besuki menjadi sebuah kota yang cukup ramai dan padat penduduknya, selain itu, Besuki juga sebagai tempat kedudukan residen dan sekaligus menjadi pusat pemerintahan yang mengurusi dan memantau afdeling. Salah satu daerah Karesidenan Besuki yang mempunyai daerah perkebunan cukup banyak yaitu Bondowoso. Perkebunan peninggalan pengusaha swasta Belanda yang ada di Bondowoso yaitu Perkebunan Blawan yang terdapat di Kecamatan Sempol. Awalnya, perkebunan swasta milik pengusaha Belanda ini bernama David Birnie Administratie Kantoor (DBAK), yang didirikan pada tahun 1894 oleh Pengusaha Belanda yang bernama George David Birnie (Anonim, 1997: 2).
Birnie memperoleh lahan erfpacht yakni tanah sewa dalam jangka panjang di kawasan Pegunungan Ijen dari Pemerintah Hindia Belanda selama 75 tahun. Hak erfpacht tersebut seluas 4751 Hektar yang terbagi menjadi 9 afdeling yakni Besaran, Plalangan, Kalisengon, Kaligedang, Girimulyo, Sumberejo, Gunung Blauw, Watu Capil dan Gending Waloh. Terdapat beberapa tanaman perkebunan yang dikembangkan oleh Birnie di Perkebunan Blawan miliknya, namun produk yang menjadi andalan Birnie di perkebunan tersebut adalah kopi. Ketinggian tempat ini berada pada kisaran 900-1500 meter dari permukaan laut, sehingga sangat cocok untuk ditanami kopi arabika.
Semula varietas kopi yang ditanam di Perkebunan Blawan adalah Varietas Tipika kemudian karena serangan penyakit karat daun, produksinya merosot tajam, sehingga sulit ditemukan di pasaran internasional. Guna mengatasi penyakit karat daun maka David Birnie Administrasi Kantoor pada tahun 1900 mendatangkan biji-biji kopi arabika dari Perkebunan Kopi Arabika Pasoemah Estate Sumatera Selatan, karena varietas ini tampak agak tahan dari hama penyakit karat daun. Varietas ini kemudian dikembangkan menjadi Varietas Blawan Pasoemah (BLP) dan varietas ini semula ditanam dan dikembangkan di Perkebunan Blawan. Seleksi ini dilakukan oleh Besoekisch Profstation  yang nantinya menghasilkan varietas unggulan kopi arabika dengan nama Blawan Pasoemah type (Anonim, 2000: 226).
Pada tahun 1955 beberapa perkebunan, termasuk Perkebunan Blawan yang dikelola oleh David Birnie Administrasi Kantoor digabungkan dengan Landbouw Maatscappij Oud Djember (NV LMOD). Penggabungan ini dilakukan untuk memudahkan pengawasan perkebunan-perkebunan yang berada di wilayah bagian timur Jawa Timur, keadaan tersebut berlangsung hingga tahun 1958, yang artinya sudah masuk pada era kemerdekaan Indonesia. Pada masa kemerdekaan Pemerintah Indonesia mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda. Adanya kondisi alam Indonesia yang beriklim tropis, curah hujan yang cukup tinggi dan tanah yang subur, serta diiringi oleh kerjasama antara penduduk, pihak perkebunan, pemerintah berusaha membiarkan dan mengembangkan perkebunan kopi supaya tetap eksis.
Tahun 1958 perkebunan swasta tersebut, resmi dinasionalisasikan oleh Pemerintah Republik Indonesia, yaitu menjadi Perusahaan Perkebunan Nasional (PPN) Unit A. Seiring berjalannya waktu, struktur organisasi PPN, disempurnakan dengan diadakannya pembagian rayon per unit. Pada tahun 1961 menurut Peraturan Pemerintah Nomor 141 Tahun 1961, PPN Unit A dilebur menjadi Badan Pimpinan Unit Perusahaan Negara (BPU PPN) atau disebut juga PPN Kesatuan. PPN Kesatuan terbagi dalam berbagai unit kerja perkebunan, antara lain: Unit Aceh, Unit Sumatera Utara, Unit Sumatera Selatan, Unit Jawa Barat, Unit Jawa Tengah dan Unit Jawa Timur. Kemudian struktur organisasi PPN Unit A masuk dalam PPN Kesatuan Jawa Timur VII. Tahun 1963 PPN Kesatuan disusun kembali dan dibagi menjadi empat kelompok PPN berdasarkan jenis usahanya, mengingat semakin luasnya usaha yang ditangani pada waktu itu. Dengan demikian terbentuklah PPN Karet, PPN Tembakau, PPN Gula, dan PPN Aneka tanaman termasuk kopi, di mana masing-masing berstatus sebagai badan hukum. Perkebunan Blawan kemudian berganti nama menjadi PPN Antan XIII.
Pada tahun 1968 terjadi pemangkasan daerah perkebunan, yang semula terdapat 88 perkebunan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, dipangkas menjadi 28 perkebunan dan dibentuk menjadi Perusahaan Negara Perkebunan (PNP) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 14 tanggal 13 April 1968, Perkebunan Blawan yang semula bernama PPN Antan XIII berubah  menjadi PNP XXVI. Pada tahun 1969 kelembagaan perusahaan perkebunan negara diubah lagi melalui peubahan bentuk dari Perusahaan Negara (PN) menjadi Perseroan Terbatas (PT) berdasarkan UU No.9/1969 dan PP No. 12/1969. Proses Pengalihan ini dilakukan secara bertahap dan melalui penilaian kelayakan. Pada tahun 1972 jumlah PNP yang telah disetujui oleh pemerintah untuk dijadikan PT sebanyak 13 buah dari 28 buah, di antaranya Perkebunan Blawan termasuk dalam PTP XXVI (Persero).
Pada tahun 1994 PTP XXVI mengalami transisi penggabungan dalam PTP Kelompok Jawa Timur. Akhirnya, sejak tahun 1996 hingga saat ini Perkebunan Blawan menjadi salah satu unit usaha dari PTPN XII. Pembentukan tersebut didasarkan pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1996 yang dimuat dalam Lembaran Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1996. Pendirian PTPN XII (Persero) tersebut dituangkan dalam akta Notaris Harul Kamil, S.H. di Jakarta. PTPN XII (Persero) berkantor pusat di Jalan Rajawali No. 44 Surabaya Jawa Timur. Perkebunan Blawan merupakan bagian dari PTPN XII yang berada di wilayah II, yang mana merupakan salah satu perkebunan kopi milik negara yang masih eksis hingga saat ini.
Perkebunan tersebut secara spesifik berada di Desa Kalianyar Kecamatan Sempol Kabupaten Bondowoso dengan karakteristik tanah dan ketinggian tempat yang cocok. Perkebunan Blawan berada di kawasan Gunung Ijen yang lokasinya berdekatan dengan perkebunan kopi arabika milik PTPN XII lainnya. Perbatasan Perkebunan Blawan antara lain: (1) Sebelah Utara berbatasan dengan Perkebunan Pancur Angkrek; (2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Perkebunan Kayumas; (3) Sebelah Barat berbatasan dengan Perkebunan Kalisat; (4) Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Banyuwangi (Anonim, 1996: 5).
Sungai yang mengalir sepanjang tahun di Perkebunan Blawan yaitu sungai Blawan. Bahkan terdapat air terjun Blawan yang berada pada daerah Afdeling Besaran. Sungai ini dipergunakan untuk pengolahan kopi, keperluan sehari-hari masyarakat sekitar, seperti mandi, mencuci baju, keperluan berternak, dan untuk pengairan lahan dimusim kemarau atau musim kering panjang. Pemanfaatan air sungai untuk kepentingan perkebunan, air sungai tersebut, dialirkan melalui pipa-pipa yang ukurannya cukup besar, dan digerakkan oleh tenaga diesel kemudian ditampung di bak penampungan air dan ke lahan pertanian. Air dalam bak penampungan tersebut dimanfaatkan untuk merendam dan mencuci buah kopi yang baru dipetik dan untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat.
2. Perkembangan Perkebunan Blawan Tahun 1998-2012
Perkebunan Blawan yang secara resmi di kelola oleh PTPN XII sejak tahun 1996 mengalami beberapa perkembangan. Perkembangan tersebut, antara lain memodivikasi produksi unggulan, dengan melakukan perbaikan mutu melalui manajemen pengolahan dan penambahan kapasitas sarana pengolahan yang berpengaruh besar terhadap perbaikan mutu akhir biji kopi. Selain kopi, tanaman yang dibudidaya pada Perkebunan Blawan juga beragam, antara lain Makadamia, Jeruk dan lain-lain. Aneka ragam jenis produk yang dibudidayakan oleh Perkebunan Blawan, membawa dampak kepada masyarakat, karena tetap dapat melakukan aktifitas, selain budidaya kopi di Perkebunan Blawan. Adapun jenis tanaman yang dibudidaya oleh Perkebunan Blawan antara lain:
    1. Kopi arabika adalah tanaman yang dikembangkan oleh Perkebunan Blawan. Tanaman ini mempunyai batang yang tumbuh tegak, bercabang, daunnya bulat telur dengan ujung agak meruncing. Proses budidaya kopi arabika pada Perkebunan Blawan meliputi tiga aspek, antara lain, proses penanaman, proses perawatan, dan proses pemanenan, disetiap proses membutuhkan tenaga kerja yang diambil dari masyarakat setempat. Kopi dapat tumbuh pada berbagai kondisi lingkungan, tetapi untuk mencapai hasil yang optimal, memerlukan persyaratan tertentu, misalnya keadaan geografis dan geologis, yang biasanya berhubungan dengan tanah dan iklim. Tanah merupakan salah satu komponen yang penting untuk tanaman kopi. Karakteristik fisik tanah di Perkebunan Blawan yaitu gembur, subur, banyak mengandung humus, dan teksturnya baik. Oleh sebab itu, tanah yang terdapat pada Perkebunan Blawan sangat cocok untuk budidaya tanaman kopi arabika. Selain sifat fisik tanah, tendapat pula sifat kimia tanah yang meliputi kesuburan tanah. Tanah yang subur berarti banyak mengandung zat-zat makanan yang dibutuhkan oleh tanaman untuk proses pertumbuhan.Karakteristik iklim perlu diperhatikan sebelum proses penanaman dilakukan, karena iklim banyak berpengaruh terhadap budidaya kopi, misalnya meliputi ketinggian tempat, temperatur dan tipe curah hujan. Ketinggian tempat ini akan berpengaruh terhadap proses pertumbuhan dan besar biji, makin tinggi elevasi makin lambat pertumbuhan kopi dan makin besar biji yang dihasilkan. Perkebunan Blawan juga melakukan berbagai perawatan untuk tanaman kopi arabika. Terdapat beberapa penerapan teknologi budidaya untuk proses perawatan tanaman kopi di Perkebunan Blawan, yang meliputi pengolahan tanah, pemeliharaan jalan dan saluran air, menyulam, pemangkasan, pemupukan, pengendalian hama, penyakit dan penyiraman. Poses pemangkasan di Perkebunan Blawan, biasanya dilakukan oleh mandor, dimana sudah berpengalaman dan profesional. Pemupukan dilakukan untuk mempertahankan dan memperbaiki kesuburan tanah, sehingga produktivitas tanah dapat meningkat dan memperoleh hasil tanaman yang optimal. Pupuk buatan yang biasa dipakai oleh Perkebunan Blawan antara lain : Urea, ZA, TSP, Rock Phospate, Kalium Clorida, Kieserite, Dolomite dan Pupuk Organik. Pemberian pupuk pada tanaman kopi di Perkebunan Blawan, pada umumnya diberikan dua kali dalam setahun. Tepatnya pada bulan April dan bulan Oktober, yaitu sebelum panen dan setelah panen. Pupuk yang diberikan setiap tahun berbeda-beda, karena disesuaikan dengan kebutuhan tanaman kopi. Kebutuhan tanaman kopi, dapat diketahui dari hasil penelitian Pusat Penelitian Kopi dan Kakao yang dilakukan setiap tahun. Misalnya pada tahun 2010, penelitian dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao menunjukkan bahwa kondisi tanah di beberapa Afdeling Perkebunan Blawan menunjukkan bahwa kekurangan unsur hara, sehingga daun tanaman kopi berwarna kekuning-kuningan, dan lama kelamaan menjadi kering, hal tersebut sangat mengancam menurunnya pembuahan. Oleh karena itu pihak perkebunan memberi pupuk urea untuk mengatasi masalah tersebut.
      2. Makadamia yang dikembangkan di Perkebunan Blawan adalah makadamia dari Hawaii, yang dibawa oleh orang Belanda pada tahun 1974. Awalnya, Belanda membawa 4500 bibit makadamia dengan tipe HAES 333, namun karena beberapa bibit mengalami kerusakan, maka yang berhasil ditanam sebanyak 4.453 pohon. Pertumbuhan tanaman makadamia pada Perkebunan Blawan cukup bagus, bahkan berbuah lebat, karena berada pada ketinggian tempat sekitar 1.000 meter di atas permukaan laut. Selain dipelihara, Perkebunan Blawan juga berusaha melakukan pembibitan pada tanaman tersebut. Hingga tahun 2012, penanaman kacang makadamia mencapai 15.000 pohon, namun sifatnya hanya sebagai tanaman sela di antara tanaman kopi. Pohon makadamia, tidak memerlukan perawatan seperti pohon kopi. Tenaga kerja yang dibutuhkan terkait tanaman makadamia hanyalah pada waktu panen saja. Satu pohon makadamia, biasanya dipanen oleh 4 orang. Produksi tanaman makadamia Perkebunan Blawan pada tahun 2012 mencapai 10 ton, dengan komposisi 2 ton cangkang kering, 5 ton biji utuh, dan 3 ton biji pecah. Daerah sasaran pemasaran kacang makadamia Perkebunan Blawan, yaitu Jogja, Bali dan Jawa Barat. Sedangkan harga yang ditentukan oleh Perkebunan Blawan pada tahun 2012 yaitu, 60.000 rupiah per kilogram untuk kacang makadamia cangkang kering, 110.000 rupiah untuk makadamia dengan biji utuh, dan 80.000 rupiah untuk makadamia biji pecah. Dengan harga tersebut, Perkebunan Blawan sudah tidak menanggung ongkos kirim ke masing-masing daerah pemasaran, karena ongkos kirim dibebankan pada customer. 
      3. Jeruk yang dibudidayakan Perkebunan Blawan sejak tahun 2008, berasal dari Batu, Malang dengan jenis madu trigas. Penanaman pertama dilakukan pada lahan seluas 1,68 hektar dengan populasi 463 pohon. Lahan tersebut diperluas pada tahun 2012, yaitu 19,51 hektar, dan populasinya ditambah menjadi 3248 pohon. Panen pertama dilakukan pada tahun 2012, yaitu menghasilkan 3000 kilogram. Pemasaran buah tersebut, hanya untuk memenuhi kebutuhan wisatawan dan keperluan hotel. Harga yang ditetapkan Perkebunan Blawan mencapai 10.000 rupiah per kilogram. Dengan harga tersebut, wisatawan dapat memetik buah jeruk pada pohonnya secara langsung. Aneka tanaman yang dibudidaya oleh Perkebunan Blawan, membawa manfaat positif bagi masyarakat setempat, karena apabila musim panen kopi telah usai, masyarakat setempat masih mempunyai aktifitas lain, yaitu merawat tanaman jeruk. Beragamnya jenis tanaman yang dibudidaya oleh Perkebunan Blawan diiringi dengan tersedianya jenis pekerjaan baru bagi masyarakat. Akibatnya ketika musim panen kopi telah usai, masyarakat masih mempunyai kegiatan lain. Selain mengembangkan tanaman lain, Perkebunan Blawan juga melakukan upaya untuk meningkatkan kualitas produknya.
Pada tahun 1997 Kopi Blawan yang diekspor dikenal dengan sebutan sebagai specialty coffe. Berawal pada bulan April tahun 1997, ketika Perkebunan Blawan mendapat kehormatan sebagai salah satu sample dalam Taste of the Harvest, yang diselenggarakan Specialty Coffee Association of America (SCAA). Sejak saat itu, SCAA mengakui Kopi Blawan sebagai specialty coffe, yang berarti Kopi Blawan memiliki karakter cita rasa yang khas, meliputi aroma bagus, kekentalan, keasaman medium, rasa seimbang dengan rasa akhir herbal. Ke empat kategori tersebut, dapat terpenuhi oleh Perkebunan Blawan dengan cara melakukan pengawalan mutu produk sejak dari pemetikan buah kopi, mengupayakan uji petik setiap penggal proses, jaminan konsistensi mutu, sehingga customer satisfaction dapat terpenuhi dan mendapat apresiasi dari pembeli dan memperoleh premium harga yang tinggi.
Langkah berikutnya yang diambil oleh Perkebunan Blawan, adalah tahun 1998 mendaftarkan merk “Java Coffe Blawan” kepada Patent and Trade mark Office Us Department United State of America. Tujuan dari pendaftaran merk tersebut, antara lain untuk menghindari adanya pemalsuan produk yang sifatnya origin, yang merupakan produk andalan Perkebunan Blawan. Setelah melalui beberapa proses penilaian, pada bulan Juni tahun 1998, Trade mark Office US Department of Commerce USA menerbitkan “Certificat of Registration Merk Java Coffe Blawan”, yang berarti kopi arabika Perkebunan Blawan diakui secara resmi sebagai specialty coffe secara internasional. Adanya sertifikat tersebut dapat memudahkan Perkebunan Blawan untuk melakukan proses pemasaran, karena sertifikasi tersebut disesuaikan dengan adanya perjanjian perdagangan dengan negara tujuan ekspor. Trade mark Office US Department of Commerce USA berarti sertifikasi ini dilakukan oleh Negara Amerika Serikat, maka secara tidak langsung, Amerika telah sepakat menjadi negara tujuan ekspor Java Coffe Blawan. Pada waktu yang sama, Perkebunan Blawan juga mendaftarkan merk Java Coffe Blawan kepada Departemen Kehakiman dan HAM RI, kemudian mendapatkan sertifikat merk dagang yang diakui secara nasional.
Sertifikat tersebut berpengaruh terhadap harga jual Kopi Blawan. Harga kopi hasil dari Perkebunan Blawan ini tergantung dengan fluktuasi harga kopi di pasaran dunia, hal ini karena sebagian besar buah kopi yang dihasilkan, di pasarkan ke luar negeri. Negara tujuan pemasaran Java Coffe Blawan yaitu Amerika Serikat, dan Belanda. Nilai ekspor kopi jauh lebih tinggi, bahkan menjadi barang dagangan yang sangat menguntungkan daripada tanaman perkebunan lain, hal ini berlangsung dari zaman kolonial Belanda dan bertahan hingga sekarang. Misalnya pada tahun 2010, harga kopi arabika naik 40% dari harga sebelumnya. Pada bulan Maret 2010 harga kopi arabika mencapai 2,8 dolar AS/kg, bulan September 2010 harga kopi arabika naik menjadi 4,02 dolar AS/kg untuk kopi arabika yang berkualitas biasa, sedangkan kopi arabika specialty harganya mencapai 5,3 dolar AS/kg. Harga tersebut, mampu bertahan hingga saat ini, sementara itu kenaikan harga kopi di dunia, sangat menguntungkan PTPN XII, khususnya Perkebunan Blawan sebagai salah satu produsen kopi terbesar di Indonesia. Bahkan, direktur produksi PTPN XII berencana akan menambah lahan kopi arabika seluas 1.000 hektare.
Sistem manajemen perkebunan juga mengalami perubahan, selain itu Perkebunan Blawan melakukan penerapan teknologi modern dalam proses budidaya untuk meningkatkan jumlah produksi, dan mempermudah proses pemasaran. Semua perubahan tersebut dijadikan satu dalam sistem organisasi yang dikontrol oleh negara. Daya tarik yang diciptakan pihak perkebunan bagi masyarakat sekitar antara lain dilakukannya berbagai upaya untuk mensejahterakan pekerja beserta keluarganya. Tenaga kerja Perkebunan Blawan, sebagian besar melibatkan seluruh anggota keluarga yang berada di sekitar areal perkebunan. Guna menarik simpati dari masyarakat sekitar supaya tetap tinggal di sekitar areal perkebunan dan bekerja untuk perkebunan, pihak perkebunan melakukan pendekatan sosial kepada pekerja.
3. Dampak Sosial
Desa Kalianyar, merupakan desa yang diisolir dan digunakan sebagai gudang tenaga kerja oleh Perkebunan Blawan, namun bukan berarti Perkebunan Blawan memberikan imbalan yang murah atas tenaga kerja yang diperoleh dari masyarakat setempat. Sebaliknya, masyarakat Desa Kalianyar, juga memanfaatkan perkebunan sebagai lahan pekerjaan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, bahkan untuk merubah status sosial yang dimilikinya. Perubahan status sosial yang dialami masyarakat Desa Kalianyar, berkaitan erat dengan pengaruh pendidikan dan adanya mobilitas sosial.
Berbicara mengenai manfaat perkebunan terhadap masyarakat, tentu berkaitan dengan tersedianya berbagai bentuk sarana dan fasilitas yang dapat dinikmati langsung oleh pekerja dan masyarakat umum. Adapun sarana dan fasilitas sosial yang diberikan oleh pihak perkebunan terhadap pekerja dan masyarakat umum adalah sebagai berikut: (1) Perumahan pekerja perkebunan, baik yang mempunyai status harian tetap maupun harian lepas, mempunyai hak untuk menempati perumahan perkebunan. Dengan cacatan penggunaan perumahan bersifat tidak tetap, yang artinya apabila seseorang bekerja di perkebunan, rumah boleh ditempati, namun apabila sudah tidak bekerja lagi, maka dengan terpaksa harus meninggalkan perumahan. Perumahan yang disediakan oleh Perkebunan Blawan, menyebar di seluruh afdeling, yang letaknya tidak jauh dari lokasi kerja; (2) Listrik dan air bersih, setiap rumah yang dihuni oleh pekerja perkebunan, dilengkapi dengan aliran listrik untuk penerangan yang berasal dari PLTA milik perkebunan. Setiap rumah dilengkapi MCK yang layak dan aliran air selama 24 jam yang berasal dari sumber air alami yang sengaja dipompa dan dialirkan menggunakan paralon dari rumah ke rumah. Semua biaya listrik dan air tersebut ditanggung oleh perkebunan; (3) Balai kesehatan, bertujuan untuk menjamin kesehatan para pekerja dan masyarakat umum. Terdapat beberapa balai kesehatan yang menyebar di setiap afdeling Perkebunan Blawan. Di tangani oleh dokter dan beberapa perawat dan buka selama 24 jam kerja setiap hari. Sarana kesehatan ini dapat digunakan oleh para pekerja dan keluarganya secara gratis. Apabila pekerja dan keluarganya memerlukan rujukan ke rumah sakit, maka pihak perkebunan akan membantu biaya pengobatannya; (4) Sarana olahraga, berupa lapangan sepak bola, lapangan bola voly, dan lapangan tenis. Sarana olahraga ini dapat di gunakan oleh pekerja dan masyarakat umum secara cuma-cuma. Bahkan setiap satu tahun sekali digunakan untuk mengadakan lomba olahraga dalam rangka merayakan hari kemerdekaan Indonesia; (5) Sarana ibadah, setiap afdeling didirikan sebuah masjid, karena memang semua pekerja dan masyarakat umum beragama Islam; (6) Transportasi, biasanya diberikan untuk pekerja yang rumahnya berada di luar desa, jauh dari lokasi perkebunan. Biasanya yang sering memanfaatkan sarana transportasi ini adalah para pekerja musiman yang didatangkan dari luar daerah. Namun sekarang disediakan truk angkutan untuk anak-anak sekolah, yang dimanfaatkan oleh anak pekerja maupun masyarakat umum.
Berbagai macam sarana dan fasilitas sosial ini, dimanfaatkan oleh pekerja dan masyarakat umum secara maksimal, mengingat lokasi perkebunan jauh dari perkotaan. Sehingga perusahaan perkebunan menyediakan fasilitas-fasilitas penunjang demi kelancaran pekerjaannya. Beroperasinya perusahaan perkebunan merupakan pemicu bagi terjadinya perubahan sosial di kalangan masyarakat perkebunan. Aktifitas perkebunan yang melibatkat sebagian besar masyarakat sekitar, merupakan faktor penggerak roda perubahan sosial masyarakat pedesaan. Masyarakat tidak lagi puas terhadap keadaan sosial bersifat tradisional yang dialaminya dimasa lampau dan saat ini. Seiring berjalannya waktu pola pikir masyarakat pedesaan telah berkembang dan berubah, mereka kini tidak lagi puas dengan profesi sebagai pekerja perkebunan yang mereka alami. Orang-orang berlomba-lomba menyekolahkan anaknya, pertama untuk mengubah nasib tetapi lebih-lebih untuk mempertinggi status sosial. Perlahan mereka menabung untuk membiayai anak-anaknya sekolah. Aspek pendidikan mulai mereka perhatikan, karena menurut mereka, untuk menjalani kehidupan di masa yang akan datang, tidak lagi mengandalkan kekuatan otot, namun dengan kekuatan otak. Dengan adanya pola pikir yang demikian, masyarakat pedesaan mulai menyekolahkan anak-anaknya sampai SMA bahkan Perguruan Tinggi.
Perubahan status sosial lainnya, yaitu tercipta melalui mobilitas penduduk yang keluar dan yang masuk di Desa Kalianyar. Mobilitas ini mengakibatkan masyarakat terlibat dalam hubungan interaksi dengan masyarakat di luar Kecamatan Sempol. Hal ini kemudian berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat Desa Kalianyar yang lebih bersifat terbuka dalam menerima pengaruh dari luar. Perbaikan jalan menuju  Desa Kalianyar, menimbulkan suatu mobilitas yang tinggi oleh masyarakat sekitar. Kondisi jalan yang harus dilalui untuk menuju ke kota sudah bagus dan beraspal semua, hanya saja medan yang harus dilalui naik, turun, miring, dan rawan longsor, karena melewati tebing-tebing yang sangat tinggi. Adanya kondisi jalan dan fasilitas angkutan umum yang memadai, semua itu dapat memperlancar masuk dan keluarnya informasi dari luar ke dalam, begitu pula sebaliknya, sehingga terciptalah sebuah percampuran budaya. Misalnya adanya keinginan kesamaan gaya hidup yang dimiliki masyarakat kota. Contoh, gaya hidup seperti berpakaian yang menurut masyarakat perkebunan masih ketinggalan zaman atau ketinggalan mode, dengan melihat masyarakat kota yang gaya berpakaiannya terlihat rapi dan model terbaru, tentu akan ditiru dengan anggapan gaya hidup mereka sudah modern. Selain gaya berpakaian, ada juga kepemilikan handphone, walaupun hanya operator telkomsel yang bisa digunakan untuk mengakses signal di wilayah Kalianyar, dan itupun apabila terjadi cuaca buruk, signal sering hilang dan sulit diakses. Di samping itu, terdapat pula gaya kepemilikan barang-barang pribadi lainnya yang dimiliki masyarakat kota dan ditiru oleh masyarakat desa.
4. Dampak Ekonomi
Keberadaan Perkebunan Blawan membawa pengaruh bagi perkembangan perekonomian masyarakat setempat. Hal tersebut dapat dilihat dari pendapatan yang diterima masyarakat setempat dari perkebunan digunakan sebagai pemenuhan kehidupan sehari-hari. Efendy, salah satu pekerja Perkebunan Blawan yang mempunyai golongan III A dengan posisi sebagai asisten tanaman. Golongan III A saat ini tidak begitu saja beliau dapatkan dengan mudah. Efendy memulai kariernya sejak lulus dari Universitas Jember sebagai sarjana pertanian tahun 2004. Sepuluh tahun bekerja di PTPN XII, Efendy mengalami perpindahan tempat kerja selama berkali-kali, hingga akhirnya berlabuh di Perkebunan Blawan. Penghasilan yang diperoleh Efendy terdiri dari gaji pokok, tunjangan jabatan, tunjangan fungsional, apabila dijumlah berkisar Rp. 5.000.000,- setiap bulan, kadang-kadang juga mendapat jasa produksi. Dengan penghasilan demikian, Efendy menghidupi satu orang istri dan dua orang anak. Saat ini beliau tinggal di salah satu perumahan milik Perkebunan Blawan, dengan fasilitas listrik dan air gratis dari perkebunan. Sehingga tanggungjawab yang perlu dipenuhi setiap bulannya, yaitu kebutuhan sehari-hari, seperti membeli beras, lauk-pauk, dan lain-lain, yang setiap bulan berkisar Rp. 1.000.000,00. Dengan demikian, pengaruh perkebunan dapat dirasakan Efendy secara nyata, yang pada intinya pendapatan yang diperolehnya lebih besar dari pengeluaran, hal tersebut menjadi motivasi tersendiri bagi Efendy untuk menekuni pekerjaannya (Wawancara dengan Efendy, Bondowoso 21 Maret 2014).
Perubahan ekonomi masyarakat yang terjadi di sekitar perkebunan selain didapat dari upah yang diterima pekerja perkebunan, tetapi juga berasal dari kegiatan lain, misalnya bertani, beternak dan berdagang. Salah satu pekerja perkebunan yang melakukan kegiatan ekonomi lain adalah Ahmad Munir dan Sutomo, yang mempunyai beberapa hewan ternak, berupa kambing. Penyediaan modal hewan ternak yang dikembangkan oleh masyarakat sekitar Perkebunan Blawan dapat diperoleh dari dua sumber, yaitu pertama dari modal pribadi. Ke dua dari talangan hewan ternak yang diberikan oleh pihak perkebunan kepada masyarakat. Talangan hewan ternak ini dikelola oleh perkebunan dengan suatu wadah yang diberi nama Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL). Program ini didirikan pada tahun 1990, setiap tahun mengeluarkan dana sebesar 360 juta untuk 60 hewan ternak.
Prosedur yang harus dilalui untuk mendapatkan dana talangan hewan ternak dari PKBL, melalui beberapa kesepakatan antara penerima talangan dengan pihak perkebunan terlebih dahulu. Awalnya pihak perkebunan memberikan dana talangan sebesar 6 juta rupiah, dana tersebut akan dimanfaatkan untuk membeli hewan ternak berupa sapi. Sistem pengembalian dana talangan tersebut, berjangka waktu 2 tahun, dengan bunga 0,5 % per tahunnya. Pengembalian tersebut dapat dilakukan dengan proses angsuran, dapat pula dengan cara tunai sesuai kehendak penerima dana talangan. Keuntungan yang dirasakan oleh penerima dana talangan dapat dirasakan sepenuhnya, karena bunga yang harus mereka banyar tidak begitu besar.
Selain kegiatan peternakan, terdapat pula kegiatan pertanian dengan memanfaatkan lahan milik perkebunan dan perhutani. Pertanian yang dilakukan oleh masyarakat sekitar perkebunan, beragam dari sayur-sayuran, hingga palawija. Kegiatan pertanian ini selain memberikan keuntungan bagi petani penanam, pedagang dari luar Kecamatan Sempol, tetapi juga memberikan peluang lapangan kerja baru bagi masyarakat sekitar. Peluang kerja tersebut berkaitan dengan proses penanaman, perawatan, hingga pemanenan. Pekerja perkebunan yang mempunyai kegiatan bertani, misalnya pertanian sayuran, tingkat perekonomiannya jauh lebih tinggi daripada hanya mengandalkan penghasilan dari perkebunan. Harga sayuran, berupa kobis saat ini mencapai 1500 rupiah per kilogram. Apabila lahan yang digunakan seluas 1 hektar, dengan modal yang harus dikeluarkan petani, mulai dari pembibitan, penanaman, perawatan sampai dengan ongkos tenaga kerja sebesar 10 juta rupiah, lahan tersebut dapat menghasilkan 15 sampai 20 ton kobis, sehingga keuntungan yang diterima cukup banyak.
Keuntungan tersebut, membuat masyarakat yang pada awalnya mempunyai tingkat perekonomian sederhana, meningkat menjadi perekonomian yang sangat baik. Sehingga muncullah suatu pemikiran baru bahwa petani yang sukses dan kaya merupakan elite desa yang cenderung mempunyai tingkat gengsi tinggi sejalan dengan perubahan tingkat ekonomi dan sosial di mata masyarakat (Koentjaraningrat, 1984: 31). Tingkat kesuksesan yang dimiliki oleh masyarakat pedesaan biasanya diukur dengan kepemilikan barang yang dimilikinya, seperti barang yang sifatnya sebagai barang simpanan yang mempunyai nilai jual tinggi, misalnya perhiasan emas. Selain itu, ada pula yang memanfaatkan uangnya untuk membeli kendaraan bermotor, pik up, truk bahkan mobil pribadi. Tidak berhenti pada emas dan kendaraan saja, masyarakat pedesaan, khususnya Desa Kalianyar, juga menggunakan uangnya untuk memenuhi kebutuhan sekunder, seperti membeli perabotan rumah tangga, seperti televisi, kulkas, handphone dan sebagainya.
Beragamnya aktivitas perekonomian yang ada di masyarakat Desa Kalianyar, mulai dari pekerja perkebunan, pertanian, peternakan, dan perdagangan, memicu semua anggota keluarga dialokasikan pada seluruh pekerjaan, sesuai kapasitas masing-masing (Soegijanto Padmo, 2005: 8). Anggota keluarga laki-laki, akan melakukan kegiatan menyiapkan lahan, membuat pembibitan, mencari rumput untuk hewan ternaknya, dan melakukan aktivitas perkebunan. Sementara itu, wanita akan melakukan kegiatan seperti menanam bibit, memelihara tanaman, memberi makan hewan ternak, dan melakukan aktivitas perkebunan. Anak-anak akan diminta mengerjakan pekerjaan yang lebih ringan seperti menjaga adik-adiknya, membersihkan perabotan rumah dan lain sebagainya. Adanya sistem bagi tugas antar keluarga, meringankan dan memudahkan masyarakat untuk fokus pada pekerjaan masing-masing.


KESIMPULAN
Perkebunan lahir di Indonesia pada zaman pemerintahan kolonial Belanda yang sengaja dikenalkan dan dibangun demi kepentingan kolonial Belanda. Pembangunan pada sektor perkebunan ini, nampaknya diiringi dengan berdirinya perusahaan-perusahaan perkebunan di daerah tertentu berdasarkan kondisi geografis, geologis, dan ekologi yang mendukung untuk ditanami komoditi perkebunan. Desa Kalianyar, merupakan salah satu desa yang ada di wilayah Kecamatan Sempol Kabupaten Bondowoso. Desa Kalianyar berada di lereng Gunung Ijen, sehingga mempunyai suhu udara yang dingin, tanah yang subur, curah hujan yang cukup tinggi, dan aliran sungai memadai. Keadaan tersebut menjadi faktor yang sangat penting untuk mendirikan areal perkebunan kopi.
PTPN XII Perkebunan Blawan merupakan salah satu perusahaan perkebunan kopi yang berada di Kecamatan Sempol Kabupaten Bondowoso. Perusahaan perkebunan kopi yang dibangun oleh Belanda sejak tahun 1894 ini mengalami berbagai perkembangan. Di antaranya, (1) Perkebunan Blawan melakukan inovasi-inovasi terhadap produk unggulan, yaitu pada tahun 1998 lahir specialty Java Coffe Blawan, sebagai bukti bahwa Perkebunan Blawan melakukan inovasi terhadap produk unggulannya; (2) Perubahan sistem manajemen perusahaan yang lebih terorganisir dan pengembangan agrowisata; (3) Perubahan jumlah tenaga kerja, yang terjadi pada tahun 1998 sampai dengan 2012, perubahan jumlah tenaga kerja, khususnya pekerja harian lepas, berkaitan erat dengan hasil pembuahan pohon kopi, yang memerlukan tenaga kerja untuk proses pemanenan; (4) Peningkatan proses budidaya kopi, antara lain dengan memaksimalkan kebutuhan pohon kopi agar tetap mengalami keseimbangan pembuahan, yaitu dengan melakukan peremajaan, pemupukan dan lain sebagainya; (5) Adanya perubahan jumlah produksi dari tahun ke tahun, menunjukkan bahwa keberadaan Perkebunan Blawan mampu menjaga eksistensinya secara kontinuitas.
Perkembangan perkebunan yang meliputi beberapa aspek tersebut, berpengaruh terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat sekitar perkebunan. Pengaruh yang ditimbulkan oleh keberadaan perkebunan kopi, dapat berupa pengaruh positif dan sebaliknya, akan menimbulkan dampak negatif yang merugikan masyarakat sekitar. Berdirinya PTPN XII Perkebunan Blawan ini, memberikan pengaruh positif bagi masyarakat sekitar perkebunan. Masyarakat sekitar mendapat lapangan pekerjaan, dengan menjadi pekerja harian di perkebunan, dan sekaligus sebagai sumber pendapatan bagi keluarga pekerja. Sementara itu, para pekerja juga mendapatkan fasilitas tanah, rumah, yang dapat dimanfaatkan selama mereka bekerja di perkebunan. Pihak perkebunan juga menyediakan sarana dan prasarana untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat sekitar, seperti balai pengobatan, listrik, air, tempat ibadah yang berupa masjid dan lapangan olahraga. Pembangunan sarana dan prasarana tersebut bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat supaya mendapatkan kesejahteraan hidup yang layak.
Sementara itu, disamping terdapat berbagai upaya yang dilakukan oleh pihak perkebunan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup yang layak, masyarakat setempat juga selalu berusaha melakukan aktifitas lain di luar perkebunan, antara lain pertanian sayur, peternakan dan perdagangan. Usaha tersebut perlahan-lahan membuahkan hasil, perekonomian masyarakat mulai meningkat. Perubahan tersebut semakin nampak ketika mereka bisa memenuhi kebutuhan sekunder, seperti memiliki motor, perhiasan emas, perabotan rumah tangga, handphone, dan lain-lain. Selain perubahan ekonomi, terjadi pula perubahan sosial yang mempengaruhi pola pikir masyarakat akan pentingnya pendidikan. Serta diiringi dengan perubahan pola hidup yang dipengaruhi oleh budaya asing, misalnya penyesuaian cara berpakaian dengan zamannya, beragamnya makanan yang mereka konsumsi dan lain sebagainya.


DAFTAR PUSTAKA


Anonim. WARTA. Jember: Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2000.


Haryanto, Sindung. Sosiologi Ekonomi. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 2011.


Kartodirdjo, Sartono dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan Di Indonesia : Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media, 1991.


Koentjaraningrat. Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka, 1984.


Kuntowijiyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Budaya, 2005.


Padmo, Soegijanto, dkk. Jawa Abad XX Perkebunan dan Dinamika Pedesaan, Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 2005.


PTPN XII Perkebunan Blawan. Selayang pandang Kebun Blawan Tahun 1996-2010. Bondowoso: Kebun Blawan, 2010.


Retnandari, N.D, dkk,. Kopi Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media, 1991.


Rahardjo, Mudjia. Sosiologi Pedesaan: Studi Perubahan Sosial. Malang: UIN-Malang Press, 2007.


Spillane, James J. Komoditi Kopi Peranannya Dalam Perekonomian Indonesia, Yogyakarta : Kanisius, 1990