Email:
maria.nur54@yahoo.com
PENDAHULUAN
Perkebunan
lahir dan berkembang di Indonesia pada zaman Pemerintahan Kolonial
Belanda. Belanda mengenalkan perkebunan di Indonesia dengan
menerapkan sistem tanam paksa pada tahun 1830, dengan cara mewajibkan
setiap desa menanam tanaman komoditi ekspor, seperti kopi, tebu, dan
nila di sebagian tanahnya (Sartono, 1994 : 65). Hasil dari tanaman
tersebut, akan dijual sepenuhnya kepada pemerintah kolonial dengan
harga yang sudah ditentukan oleh pemerintah kolonial.
Sistem
tanam paksa yang diterapkan oleh Gubernur Jenderal Van den Bosch,
sangat membatasi dan menekan kaum pribumi,
sehingga tidak ada perkembangan yang bebas dari sistem pasar untuk
meningkatkan kesejahteraan ekonomi kaum pribumi. Oleh karena itu,
Sistem Tanam
Paksa dihapuskan dan diganti Sistem
Sewa Tanah,
dengan memberlakukan Undang-Undang
Agraria tahun 1870. Diberlakukannya
undang-undang tersebut, muncullah suatu
keterbukaan bagi berbagai kalangan termasuk siapa saja yang memiliki
modal untuk membuka perkebunan swasta di Indonesia.
Salah
satu perkebunan swasta penghasil kopi yang namanya sudah dikenal
masyarakat adalah Perkebunan Blawan yang
berada di kawasan Gunung Ijen, lokasinya masuk
dalam wilayah Desa Kalianyar, Kecamatan Sempol, Kabupaten Bondowoso,
Propinsi Jawa Timur. Pada masa kemerdekaan, Pemerintah
Indonesia melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan perkebunan
milik Belanda, termasuk Perkebunan Blawan. Perusahaan
perkebunan milik Belanda tersebut, kemudian menjelma menjadi Badan
Usaha Milik Negara (BUMN). Pengelolaannya tidak lagi bermotif mencari
keuntungan, namun lebih didorong oleh fungsi sosial untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Perkebunan
Blawan adalah salah satu perusahaan negara
yang bergerak di bidang produksi kopi, berjenis arabika
sebagai produksi utamanya. Produksi dari Perkebunan
Blawan dipasarkan ke berbagai wilayah baik di dalam negeri maupun di
luar negeri misalnya Amerika Serikat, dan
Belanda. Kopi Blawan yang diekspor dikenal dengan sebutan Java
Coffee Blawan dan diakui sebagai
specialty coffee oleh
Specialty Coffee Association of America
(SCAA) sejak tahun 1997, yang
berarti kopi arabika di pasar internasional tersebut mempunyai
citarasa khas dibandingkan kopi arabika
pada umumnya.
Keberadaan
Perkebunan Blawan menjadi penyokong kehidupan perekonomian masyarakat
di Desa Kalianyar dari zaman kolonial, Orde
Lama, Orde Baru,
hingga Reformasi, karena banyak menyerap
tenaga kerja, baik laki-laki maupun
perempuan, dalam proses penanaman,
perawatan, pemetikan hingga pengolahan kopi menjadi sebuah
produk yang siap dipasarkan. Penduduk di Desa
Kalianyar menggantungkan kehidupan
ekonominya dari perkebunan kopi, hal ini dapat dibuktikan dengan
adanya beberapa fasilitas yang diberikan perkebunan kepada para
pekerja, misalnya masyarakat diperbolehkan menempati tanah milik
perkebunan sebagai tempat tinggal dan juga tanah yang tidak ditanami
kopi untuk bercocok tanam guna pemenuhan kehidupan sehari-hari, namun
dengan konsekuensi masyarakat tersebut harus bekerja di Perkebunan
Blawan.
Tenaga
kerja pada Perkebunan Blawan, tidak
dibatasi dari masyarakat Desa Kalianyar saja, namun keberadaan
perkebunan juga dapat mendatangkan penduduk dari daerah lain untuk
menjadi pekerja di Perkebunan Blawan.
Misalnya, pada tahun 2004, ketika musim panen raya tiba, tenaga kerja
perkebunan Blawan didatangkan dari luar daerah, yaitu mencapai
sekitar 7000 tenaga kerja yang tersebar dalam sembilan
Afdeling Perkebunan
Blawan. Pekerja musiman ini, biasanya didatangkan
dari Jember, Banyuwangi dan daerah sekitar lainnya.
Artikel
ini berkaitan dengan keberadaan perkebunan yang berpengaruh kuat
terhadap perubahan sosial ekonomi masyarakat di sekitar
perkebunan, dengan menguraikan segala sesuatu yang berhubungan dengan
sejarah berdirinya, perkembangan perkebunan, pengaruh perkebunan
terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat Desa Kalianyar Kecamatan
Sempol Kabupaten Bondowoso. Permasalahan
yang ditetapkan dalam artikel ini adalah: (1) Faktor-faktor apa yang
melatarbelakangi berdirinya Perkebunan Blawan di Desa Kalianyar? (2)
Bagaimana perkembangan Perkebunan Blawan? (3) Apa dampak Perkebunan
Blawan terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat Desa Kalianyar?
Adapun tujuan penelitian ini adalah
(1) Untuk
menelusuri faktor-faktor yang melatarbelakangi berdirinya perkebunan
Blawan di Desa Kalianyar;
(2) Untuk
mendeskripsikan perkembangan Perkebunan
Blawan;
(3) Untuk
menjabarkan dampak Perkebunan Blawan terhadap kehidupan
sosial-ekonomi masyarakat di Desa Kalianyar.
Pendekatan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
sosiologi-ekonomi. Pendekatan sosiologi-ekonomi yaitu suatu
pendekatan yang menganalisis mengenai cara orang atau masyarakat
dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka terhadap barang dan jasa dengan
menggunakan pendekatan atau perspektif analisis sosiologi. Sosiologi
ekonomi dalam operasinya mengaplikasikan tradisi pendekatan sosiologi
terhadap fenomena ekonomi (Sindung Haryanto, 2011: 18).
Landasan teori yang digunakan adalah teori perubahan sosial,
berkaitan dengan (1)
sikap dan motivasi masyarakat, (2) ketidakpuasan masyarakat terhadap
keadaan
(Mudjia Rahardjo, 2007: 36-37). Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode sejarah, yang meliputi lima tahap
yaitu; pemilihan topik, pengumpulan sumber, verifikasi, interpretasi,
historiografi. (Kuntowijoyo, 2005: 90).
Lingkup
spasial yang ditentukan dalam artikel ini adalah Desa Kalianyar
Kecamatan Sempol Kabupaten Bondowoso. Desa Kalianyar
merupakan
tempat keberadaan Pekebunan Blawan, sekaligus tempat dimana para
pekerja perkebunan Blawan tinggal. Lingkup
temporal atau batasan waktu yang ditetapkan yaitu dari tahun
1998-2012. Tahun 1998 diambil sebagai lingkup temporal awal karena
bertepatan dengan tahun kelahiran Java
Coffe Blawan yang
merupakan produk andalan Perkebunan Blawan. Lahirnya Java
Coffe Blawan
ditandai dengan diakuinya sebagai specialty
coffe oleh
Specialty
Coffee Association of America
(SCAA). Tahun
2012 sebagai batas akhir penelitian karena pada bulan September tahun
2012, PTPN XII Perkebunan Blawan memperoleh penghargaan Utz
Certified, yang
ke sepuluh kalinya, hal tersebut menunjukkan bahwa
PTPN
XII Perkebunan Blawan
mampu mempertahankan kualitas produksinya. Selain itu dalam
kenyataannya Perkebunan Blawan tetap mampu berpengaruh terhadap
perkembangan sosial-ekonomi masyarakat, dan para pekerja dengan
maksimal merasakan hasil kerjanya dengan bukti terpenuhinya kebutuhan
primer, sekunder, dan tersier di keluarga,
serta
lingkungannya.
1.
Sejarah Perkebunan Blawan
Sistem
perkebunan pada lahan tetap, telah berlangsung di Indonesia
berabad-abad lamanya.
Usianya
pun cukup lama, yaitu berkisar antara 10 sampai 50 tahun, bahkan
lebih. Panjangnya usia perkebunan dikarenakan sekali dibangun di
suatu
tempat, kebun dapat berlangsung secara terus-menerus dan tidak
memerlukan sistem irigasi yang ribet dan teknologi yang berlebihan.
Sama halnya dengan keberadaan Perkebunan Blawan di Desa Kalianyar,
Kecamatan Sempol, Kabupaten Bondowoso. Apabila ditinjau dari segi
historis, keberadaan Perkebunan Blawan sudah cukup tua.
Berawal
pada tahun 1830, ketika Johannes van den Bosch diangkat sebagai
Gubernur Jenderal di Indonesia, dan mendapat tugas pertama yang
sangat mendesak, yaitu meningkatkan produksi tanaman ekspor yang
tidak dapat dicapai oleh pemerintah sebelumnya. Tugas tersebut harus
segera dilaksanakan oleh Johannes van den Bosch karena perekonomian
Belanda sedang terbengkalai dengan menerapkan sistem tanam paksa.
Seiring
dengan dilaksanakannya kebijakan tanam paksa
di
Indonesia, kaum pribumi mulai dikenalkan dengan aneka tanaman
perkebunan yang mempunyai nilai jual tinggi dan merupakan tanaman
komoditi ekspor, misalnya kopi, tebu, indigo (bahan pewarna),
tembakau, lada, teh dan kayu manis. Tanaman komoditi ekspor tersebut
ditanam di berbagai wilayah Indonesia khususnya Jawa, hanya sebagian
kecil di daerah luar Jawa. Daerah pelaksanaan sistem tanam paksa di
Jawa,
misalnya
mencakup 18 wilayah karesidenan, antara lain: Karesidenan Banten,
Priyangan, Krawang, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Jepara,
Rembang, Surabaya, Pasuruan, Besuki, Pacitan, Kedu, Bagelen,
Banyumas, Madiun, dan Kediri (N.D Retnandari, 1991: 15). Pelaksaan
kebijakan sistem tanam paksa ini, tidak sesuai dengan peraturan yang
telah dibuat oleh pemerintah kolonial, dalam kenyataannya penerapan
sistem tanam paksa sangat membatasi dan menekan kaum pribumi,
sehingga tidak ada perkembangan yang bebas dari sistem pasar untuk
meningkatkan kesejahteraan ekonomi kaum pribumi.
Tahun
1870 sistem tanam paksa dihapuskan. Pengganti dari Sistem Tanam Paksa
adalah diterapkannya Sistem Sewa Tanah, yaitu berlakunya
Undang-Undang
Agraria
tahun 1870 oleh Engelbertus de Wall, yang membuka peluang bagi
pengusaha swasta untuk membuka usaha di Indonesia.
Pengusaha
swasta yang akan menanamkan modalnya di Indonesia harus jeli melihat
keadaan geografis serta demografis yang ada di wilayah Indonesia,
karena mengingat wilayah Indonesia terdiri atas berbagai pulau yang
mempunyai potensi masing-masing. Oleh karena itu, para pengusaha
swasta mendatangkan aneka tanaman perkebunan yang akan ditanam dan
dikembangkan di Indonesia sesuai dengan potensi tanah, misalnya kopi,
tembakau, tebu, teh, karet, kelapa sawit, kakao, dan kelapa.
Keberadaan
perkebunan-perkebunan yang tersebar diberbagai wilayah Indonesia,
kebanyakan terdapat di daerah pedalaman yang sejuk dan belum
dimanfaatkan oleh kaum pribumi. Salah satu daerah pedalaman yang
dimanfaatkan oleh pengusaha swasta Belanda untuk
mendirikan perkebunan besar
adalah
Besuki
dan Malang (James. J. Spillane, 1990: 51). Sejak
dibuka perkebunan di daerah tersebut, Karesidenan
Besuki
menjadi sebuah kota yang cukup ramai dan padat penduduknya, selain
itu, Besuki juga sebagai tempat kedudukan residen dan sekaligus
menjadi pusat pemerintahan yang mengurusi dan memantau afdeling.
Salah satu daerah Karesidenan
Besuki yang mempunyai daerah perkebunan cukup banyak yaitu Bondowoso.
Perkebunan peninggalan pengusaha swasta Belanda yang ada di Bondowoso
yaitu Perkebunan
Blawan yang terdapat di Kecamatan Sempol. Awalnya, perkebunan swasta
milik pengusaha Belanda ini bernama David
Birnie Administratie Kantoor
(DBAK), yang didirikan pada tahun 1894 oleh Pengusaha Belanda yang
bernama George David Birnie (Anonim, 1997: 2).
Birnie
memperoleh lahan erfpacht
yakni tanah sewa dalam jangka panjang di kawasan Pegunungan Ijen dari
Pemerintah Hindia Belanda selama 75 tahun. Hak erfpacht
tersebut seluas 4751 Hektar yang
terbagi menjadi 9 afdeling yakni
Besaran, Plalangan, Kalisengon, Kaligedang,
Girimulyo, Sumberejo, Gunung Blauw,
Watu Capil dan Gending Waloh. Terdapat beberapa
tanaman perkebunan yang dikembangkan oleh Birnie di Perkebunan
Blawan miliknya, namun produk yang menjadi andalan
Birnie di perkebunan tersebut adalah kopi. Ketinggian tempat ini
berada pada kisaran 900-1500 meter dari permukaan laut, sehingga
sangat cocok untuk ditanami kopi arabika.
Semula
varietas kopi yang ditanam di Perkebunan
Blawan adalah Varietas
Tipika kemudian karena serangan
penyakit karat daun, produksinya merosot tajam, sehingga
sulit ditemukan di pasaran internasional.
Guna mengatasi penyakit karat daun maka
David Birnie Administrasi Kantoor
pada tahun 1900 mendatangkan biji-biji kopi arabika dari Perkebunan
Kopi Arabika Pasoemah Estate
Sumatera Selatan, karena varietas
ini tampak agak tahan dari hama penyakit karat daun. Varietas
ini kemudian dikembangkan menjadi
Varietas Blawan Pasoemah
(BLP) dan varietas ini semula ditanam dan
dikembangkan di Perkebunan Blawan.
Seleksi ini dilakukan oleh Besoekisch
Profstation yang nantinya
menghasilkan varietas unggulan
kopi arabika dengan nama Blawan Pasoemah
type (Anonim,
2000: 226).
Pada
tahun 1955 beberapa perkebunan, termasuk Perkebunan
Blawan yang dikelola oleh David Birnie Administrasi Kantoor
digabungkan dengan Landbouw Maatscappij
Oud Djember (NV LMOD). Penggabungan ini
dilakukan untuk memudahkan pengawasan perkebunan-perkebunan yang
berada di wilayah bagian timur Jawa Timur, keadaan tersebut
berlangsung hingga tahun 1958, yang artinya sudah masuk pada era
kemerdekaan Indonesia. Pada masa
kemerdekaan Pemerintah Indonesia mengambil alih perusahaan-perusahaan
Belanda. Adanya kondisi alam Indonesia yang
beriklim tropis, curah hujan yang cukup tinggi dan tanah yang subur,
serta diiringi oleh kerjasama antara penduduk, pihak perkebunan,
pemerintah berusaha membiarkan dan mengembangkan perkebunan kopi
supaya tetap eksis.
Tahun
1958 perkebunan swasta tersebut, resmi
dinasionalisasikan oleh Pemerintah Republik
Indonesia, yaitu menjadi Perusahaan Perkebunan Nasional (PPN) Unit A.
Seiring berjalannya waktu, struktur organisasi PPN, disempurnakan
dengan diadakannya pembagian rayon per unit. Pada tahun 1961 menurut
Peraturan Pemerintah Nomor
141 Tahun 1961,
PPN Unit A dilebur
menjadi Badan Pimpinan Unit Perusahaan Negara (BPU PPN) atau disebut
juga PPN Kesatuan. PPN Kesatuan terbagi dalam berbagai unit kerja
perkebunan, antara lain: Unit Aceh, Unit Sumatera Utara, Unit
Sumatera Selatan, Unit Jawa Barat, Unit Jawa Tengah dan Unit Jawa
Timur. Kemudian struktur organisasi PPN Unit A masuk dalam PPN
Kesatuan Jawa Timur VII. Tahun 1963 PPN
Kesatuan disusun kembali dan dibagi menjadi empat kelompok PPN
berdasarkan jenis usahanya, mengingat semakin luasnya usaha yang
ditangani pada waktu itu. Dengan demikian terbentuklah PPN Karet, PPN
Tembakau, PPN Gula, dan PPN Aneka tanaman
termasuk kopi, di mana masing-masing
berstatus sebagai badan hukum. Perkebunan Blawan kemudian berganti
nama menjadi PPN Antan XIII.
Pada
tahun 1968 terjadi pemangkasan daerah perkebunan, yang semula
terdapat 88 perkebunan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia,
dipangkas menjadi 28 perkebunan dan dibentuk menjadi Perusahaan
Negara Perkebunan (PNP) berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 14 tanggal 13
April 1968, Perkebunan Blawan yang semula bernama PPN Antan XIII
berubah menjadi PNP XXVI. Pada tahun
1969 kelembagaan perusahaan perkebunan negara
diubah lagi melalui peubahan bentuk dari Perusahaan Negara (PN)
menjadi Perseroan Terbatas (PT) berdasarkan UU No.9/1969 dan PP No.
12/1969. Proses Pengalihan ini dilakukan secara bertahap dan melalui
penilaian kelayakan. Pada tahun 1972 jumlah
PNP yang telah disetujui oleh pemerintah untuk dijadikan PT sebanyak
13 buah dari 28 buah, di antaranya
Perkebunan Blawan termasuk dalam PTP XXVI (Persero).
Pada
tahun 1994 PTP XXVI mengalami transisi penggabungan dalam PTP
Kelompok Jawa Timur. Akhirnya, sejak tahun
1996 hingga saat ini Perkebunan
Blawan menjadi salah satu unit usaha dari PTPN
XII. Pembentukan tersebut didasarkan pada Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 17 Tahun
1996 yang dimuat dalam Lembaran Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun
1996. Pendirian PTPN XII (Persero) tersebut
dituangkan dalam akta Notaris Harul Kamil, S.H. di Jakarta. PTPN XII
(Persero) berkantor pusat di Jalan Rajawali
No. 44 Surabaya Jawa Timur. Perkebunan Blawan merupakan bagian dari
PTPN XII yang berada di wilayah II, yang mana merupakan salah satu
perkebunan kopi milik negara yang masih eksis hingga saat ini.
Perkebunan
tersebut secara spesifik berada di Desa
Kalianyar Kecamatan Sempol Kabupaten Bondowoso dengan karakteristik
tanah dan ketinggian tempat yang cocok. Perkebunan
Blawan berada di kawasan Gunung Ijen yang
lokasinya berdekatan dengan perkebunan
kopi arabika
milik PTPN XII lainnya. Perbatasan Perkebunan
Blawan antara lain: (1) Sebelah Utara berbatasan
dengan Perkebunan Pancur Angkrek; (2) Sebelah Selatan berbatasan
dengan Perkebunan Kayumas; (3) Sebelah Barat berbatasan dengan
Perkebunan Kalisat; (4) Sebelah
Timur berbatasan dengan Kabupaten Banyuwangi (Anonim, 1996: 5).
Sungai
yang mengalir sepanjang tahun di Perkebunan Blawan yaitu sungai
Blawan. Bahkan terdapat air terjun Blawan yang berada pada daerah
Afdeling Besaran.
Sungai ini dipergunakan untuk pengolahan kopi, keperluan sehari-hari
masyarakat sekitar, seperti mandi, mencuci baju, keperluan berternak,
dan untuk pengairan lahan dimusim kemarau atau musim kering panjang.
Pemanfaatan air sungai untuk kepentingan perkebunan, air sungai
tersebut, dialirkan melalui pipa-pipa yang ukurannya cukup besar, dan
digerakkan oleh tenaga diesel kemudian ditampung di bak penampungan
air dan ke lahan pertanian. Air dalam bak penampungan tersebut
dimanfaatkan untuk merendam dan mencuci buah kopi
yang baru dipetik dan untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat.
2.
Perkembangan Perkebunan Blawan Tahun 1998-2012
Perkebunan
Blawan yang secara resmi di kelola oleh PTPN XII sejak tahun 1996
mengalami beberapa perkembangan. Perkembangan tersebut, antara lain
memodivikasi produksi unggulan, dengan melakukan perbaikan mutu
melalui manajemen pengolahan dan penambahan kapasitas sarana
pengolahan yang berpengaruh besar terhadap perbaikan mutu akhir biji
kopi. Selain kopi, tanaman yang dibudidaya pada Perkebunan Blawan
juga beragam,
antara lain Makadamia, Jeruk dan lain-lain. Aneka ragam jenis produk
yang dibudidayakan oleh Perkebunan Blawan, membawa dampak kepada
masyarakat, karena tetap dapat melakukan aktifitas, selain budidaya
kopi di Perkebunan Blawan. Adapun jenis tanaman yang dibudidaya oleh
Perkebunan Blawan antara lain:
- Kopi arabika adalah tanaman yang dikembangkan oleh Perkebunan Blawan. Tanaman ini mempunyai batang yang tumbuh tegak, bercabang, daunnya bulat telur dengan ujung agak meruncing. Proses budidaya kopi arabika pada Perkebunan Blawan meliputi tiga aspek, antara lain, proses penanaman, proses perawatan, dan proses pemanenan, disetiap proses membutuhkan tenaga kerja yang diambil dari masyarakat setempat. Kopi dapat tumbuh pada berbagai kondisi lingkungan, tetapi untuk mencapai hasil yang optimal, memerlukan persyaratan tertentu, misalnya keadaan geografis dan geologis, yang biasanya berhubungan dengan tanah dan iklim. Tanah merupakan salah satu komponen yang penting untuk tanaman kopi. Karakteristik fisik tanah di Perkebunan Blawan yaitu gembur, subur, banyak mengandung humus, dan teksturnya baik. Oleh sebab itu, tanah yang terdapat pada Perkebunan Blawan sangat cocok untuk budidaya tanaman kopi arabika. Selain sifat fisik tanah, tendapat pula sifat kimia tanah yang meliputi kesuburan tanah. Tanah yang subur berarti banyak mengandung zat-zat makanan yang dibutuhkan oleh tanaman untuk proses pertumbuhan.Karakteristik iklim perlu diperhatikan sebelum proses penanaman dilakukan, karena iklim banyak berpengaruh terhadap budidaya kopi, misalnya meliputi ketinggian tempat, temperatur dan tipe curah hujan. Ketinggian tempat ini akan berpengaruh terhadap proses pertumbuhan dan besar biji, makin tinggi elevasi makin lambat pertumbuhan kopi dan makin besar biji yang dihasilkan. Perkebunan Blawan juga melakukan berbagai perawatan untuk tanaman kopi arabika. Terdapat beberapa penerapan teknologi budidaya untuk proses perawatan tanaman kopi di Perkebunan Blawan, yang meliputi pengolahan tanah, pemeliharaan jalan dan saluran air, menyulam, pemangkasan, pemupukan, pengendalian hama, penyakit dan penyiraman. Poses pemangkasan di Perkebunan Blawan, biasanya dilakukan oleh mandor, dimana sudah berpengalaman dan profesional. Pemupukan dilakukan untuk mempertahankan dan memperbaiki kesuburan tanah, sehingga produktivitas tanah dapat meningkat dan memperoleh hasil tanaman yang optimal. Pupuk buatan yang biasa dipakai oleh Perkebunan Blawan antara lain : Urea, ZA, TSP, Rock Phospate, Kalium Clorida, Kieserite, Dolomite dan Pupuk Organik. Pemberian pupuk pada tanaman kopi di Perkebunan Blawan, pada umumnya diberikan dua kali dalam setahun. Tepatnya pada bulan April dan bulan Oktober, yaitu sebelum panen dan setelah panen. Pupuk yang diberikan setiap tahun berbeda-beda, karena disesuaikan dengan kebutuhan tanaman kopi. Kebutuhan tanaman kopi, dapat diketahui dari hasil penelitian Pusat Penelitian Kopi dan Kakao yang dilakukan setiap tahun. Misalnya pada tahun 2010, penelitian dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao menunjukkan bahwa kondisi tanah di beberapa Afdeling Perkebunan Blawan menunjukkan bahwa kekurangan unsur hara, sehingga daun tanaman kopi berwarna kekuning-kuningan, dan lama kelamaan menjadi kering, hal tersebut sangat mengancam menurunnya pembuahan. Oleh karena itu pihak perkebunan memberi pupuk urea untuk mengatasi masalah tersebut.2. Makadamia yang dikembangkan di Perkebunan Blawan adalah makadamia dari Hawaii, yang dibawa oleh orang Belanda pada tahun 1974. Awalnya, Belanda membawa 4500 bibit makadamia dengan tipe HAES 333, namun karena beberapa bibit mengalami kerusakan, maka yang berhasil ditanam sebanyak 4.453 pohon. Pertumbuhan tanaman makadamia pada Perkebunan Blawan cukup bagus, bahkan berbuah lebat, karena berada pada ketinggian tempat sekitar 1.000 meter di atas permukaan laut. Selain dipelihara, Perkebunan Blawan juga berusaha melakukan pembibitan pada tanaman tersebut. Hingga tahun 2012, penanaman kacang makadamia mencapai 15.000 pohon, namun sifatnya hanya sebagai tanaman sela di antara tanaman kopi. Pohon makadamia, tidak memerlukan perawatan seperti pohon kopi. Tenaga kerja yang dibutuhkan terkait tanaman makadamia hanyalah pada waktu panen saja. Satu pohon makadamia, biasanya dipanen oleh 4 orang. Produksi tanaman makadamia Perkebunan Blawan pada tahun 2012 mencapai 10 ton, dengan komposisi 2 ton cangkang kering, 5 ton biji utuh, dan 3 ton biji pecah. Daerah sasaran pemasaran kacang makadamia Perkebunan Blawan, yaitu Jogja, Bali dan Jawa Barat. Sedangkan harga yang ditentukan oleh Perkebunan Blawan pada tahun 2012 yaitu, 60.000 rupiah per kilogram untuk kacang makadamia cangkang kering, 110.000 rupiah untuk makadamia dengan biji utuh, dan 80.000 rupiah untuk makadamia biji pecah. Dengan harga tersebut, Perkebunan Blawan sudah tidak menanggung ongkos kirim ke masing-masing daerah pemasaran, karena ongkos kirim dibebankan pada customer.3. Jeruk yang dibudidayakan Perkebunan Blawan sejak tahun 2008, berasal dari Batu, Malang dengan jenis madu trigas. Penanaman pertama dilakukan pada lahan seluas 1,68 hektar dengan populasi 463 pohon. Lahan tersebut diperluas pada tahun 2012, yaitu 19,51 hektar, dan populasinya ditambah menjadi 3248 pohon. Panen pertama dilakukan pada tahun 2012, yaitu menghasilkan 3000 kilogram. Pemasaran buah tersebut, hanya untuk memenuhi kebutuhan wisatawan dan keperluan hotel. Harga yang ditetapkan Perkebunan Blawan mencapai 10.000 rupiah per kilogram. Dengan harga tersebut, wisatawan dapat memetik buah jeruk pada pohonnya secara langsung. Aneka tanaman yang dibudidaya oleh Perkebunan Blawan, membawa manfaat positif bagi masyarakat setempat, karena apabila musim panen kopi telah usai, masyarakat setempat masih mempunyai aktifitas lain, yaitu merawat tanaman jeruk. Beragamnya jenis tanaman yang dibudidaya oleh Perkebunan Blawan diiringi dengan tersedianya jenis pekerjaan baru bagi masyarakat. Akibatnya ketika musim panen kopi telah usai, masyarakat masih mempunyai kegiatan lain. Selain mengembangkan tanaman lain, Perkebunan Blawan juga melakukan upaya untuk meningkatkan kualitas produknya.
Pada
tahun 1997 Kopi
Blawan yang diekspor dikenal dengan sebutan sebagai specialty
coffe.
Berawal
pada bulan April tahun 1997, ketika Perkebunan Blawan mendapat
kehormatan sebagai salah satu sample
dalam Taste
of the Harvest,
yang diselenggarakan Specialty
Coffee Association of America
(SCAA).
Sejak saat itu, SCAA mengakui Kopi Blawan sebagai specialty
coffe,
yang berarti Kopi Blawan memiliki karakter cita rasa yang khas,
meliputi aroma bagus, kekentalan, keasaman medium, rasa seimbang
dengan rasa akhir herbal.
Ke
empat kategori tersebut, dapat terpenuhi oleh Perkebunan Blawan
dengan cara melakukan pengawalan mutu produk sejak dari pemetikan
buah kopi, mengupayakan uji petik setiap penggal proses, jaminan
konsistensi mutu, sehingga customer
satisfaction dapat
terpenuhi dan mendapat apresiasi dari pembeli dan memperoleh premium
harga yang tinggi.
Langkah
berikutnya yang diambil oleh Perkebunan Blawan, adalah tahun 1998
mendaftarkan merk “Java Coffe Blawan” kepada Patent and
Trade mark Office Us Department United State of America. Tujuan
dari pendaftaran merk tersebut, antara lain untuk menghindari adanya
pemalsuan produk yang sifatnya origin, yang
merupakan produk andalan Perkebunan Blawan. Setelah melalui
beberapa proses penilaian, pada bulan Juni tahun
1998, Trade
mark Office US Department of Commerce USA menerbitkan
“Certificat of Registration Merk Java Coffe
Blawan”, yang berarti kopi arabika Perkebunan Blawan
diakui secara resmi sebagai specialty coffe secara
internasional. Adanya sertifikat tersebut dapat memudahkan Perkebunan
Blawan untuk melakukan proses pemasaran, karena sertifikasi tersebut
disesuaikan dengan adanya perjanjian perdagangan dengan negara tujuan
ekspor. Trade
mark Office US Department of Commerce USA berarti
sertifikasi ini dilakukan oleh Negara Amerika Serikat, maka secara
tidak langsung, Amerika telah sepakat menjadi negara tujuan ekspor
Java Coffe Blawan. Pada waktu yang sama, Perkebunan Blawan
juga mendaftarkan merk Java Coffe Blawan kepada Departemen
Kehakiman dan HAM RI, kemudian mendapatkan sertifikat merk dagang
yang diakui secara nasional.
Sertifikat
tersebut berpengaruh terhadap harga jual Kopi Blawan. Harga kopi
hasil dari Perkebunan Blawan ini tergantung dengan fluktuasi harga
kopi di pasaran dunia, hal ini karena sebagian besar buah kopi yang
dihasilkan, di pasarkan ke luar negeri. Negara tujuan pemasaran Java
Coffe Blawan yaitu Amerika Serikat, dan Belanda. Nilai
ekspor kopi jauh lebih tinggi, bahkan menjadi barang dagangan yang
sangat menguntungkan daripada tanaman perkebunan lain, hal ini
berlangsung dari zaman kolonial Belanda dan bertahan hingga sekarang.
Misalnya pada tahun 2010, harga kopi arabika naik 40% dari harga
sebelumnya. Pada bulan Maret 2010 harga
kopi arabika mencapai 2,8 dolar AS/kg, bulan September 2010 harga
kopi arabika naik menjadi 4,02 dolar AS/kg untuk kopi arabika
yang berkualitas biasa, sedangkan kopi arabika specialty
harganya mencapai 5,3 dolar AS/kg. Harga tersebut,
mampu bertahan hingga saat ini, sementara itu kenaikan harga kopi di
dunia, sangat menguntungkan PTPN XII,
khususnya Perkebunan
Blawan sebagai salah satu produsen kopi terbesar
di Indonesia. Bahkan, direktur produksi
PTPN XII berencana akan menambah lahan kopi arabika seluas 1.000
hektare.
Sistem
manajemen perkebunan juga mengalami perubahan, selain itu Perkebunan
Blawan melakukan penerapan teknologi modern dalam proses budidaya
untuk meningkatkan jumlah produksi, dan mempermudah proses pemasaran.
Semua perubahan tersebut dijadikan satu dalam sistem organisasi yang
dikontrol oleh negara. Daya tarik yang diciptakan pihak perkebunan
bagi masyarakat sekitar antara lain dilakukannya berbagai upaya untuk
mensejahterakan pekerja beserta keluarganya. Tenaga kerja Perkebunan
Blawan, sebagian besar melibatkan seluruh anggota keluarga yang
berada di sekitar areal perkebunan. Guna menarik simpati dari
masyarakat sekitar supaya tetap tinggal di sekitar areal perkebunan
dan bekerja untuk perkebunan, pihak perkebunan melakukan pendekatan
sosial kepada pekerja.
3.
Dampak Sosial
Desa
Kalianyar, merupakan desa yang diisolir dan digunakan sebagai gudang
tenaga kerja oleh Perkebunan Blawan, namun bukan berarti Perkebunan
Blawan memberikan imbalan yang murah atas tenaga kerja yang diperoleh
dari masyarakat setempat. Sebaliknya, masyarakat Desa Kalianyar, juga
memanfaatkan perkebunan sebagai lahan pekerjaan untuk memenuhi
kehidupan sehari-hari, bahkan untuk merubah status sosial yang
dimilikinya. Perubahan status sosial yang dialami masyarakat Desa
Kalianyar, berkaitan erat dengan pengaruh pendidikan dan adanya
mobilitas sosial.
Berbicara
mengenai manfaat perkebunan terhadap masyarakat, tentu berkaitan
dengan tersedianya berbagai bentuk sarana dan fasilitas yang dapat
dinikmati langsung oleh pekerja dan masyarakat umum. Adapun sarana
dan fasilitas sosial yang diberikan oleh pihak perkebunan terhadap
pekerja dan masyarakat umum adalah sebagai berikut: (1) Perumahan
pekerja perkebunan, baik yang mempunyai status harian tetap maupun
harian lepas, mempunyai hak untuk menempati perumahan perkebunan.
Dengan cacatan penggunaan perumahan bersifat tidak tetap, yang
artinya apabila seseorang bekerja di perkebunan, rumah boleh
ditempati, namun apabila sudah tidak bekerja lagi, maka dengan
terpaksa harus meninggalkan perumahan. Perumahan yang disediakan oleh
Perkebunan Blawan, menyebar di seluruh afdeling, yang letaknya
tidak jauh dari lokasi kerja; (2) Listrik dan air bersih, setiap
rumah yang dihuni oleh pekerja perkebunan, dilengkapi dengan aliran
listrik untuk penerangan yang berasal dari PLTA milik perkebunan.
Setiap rumah dilengkapi MCK yang layak dan aliran air selama 24 jam
yang berasal dari sumber air alami yang sengaja dipompa dan dialirkan
menggunakan paralon dari rumah ke rumah. Semua biaya listrik dan air
tersebut ditanggung oleh perkebunan; (3) Balai kesehatan, bertujuan
untuk menjamin kesehatan para pekerja dan masyarakat umum. Terdapat
beberapa balai kesehatan yang menyebar di setiap afdeling
Perkebunan Blawan. Di tangani oleh dokter dan beberapa perawat dan
buka selama 24 jam kerja setiap hari. Sarana kesehatan ini dapat
digunakan oleh para pekerja dan keluarganya secara gratis. Apabila
pekerja dan keluarganya memerlukan rujukan ke rumah sakit, maka pihak
perkebunan akan membantu biaya pengobatannya; (4) Sarana olahraga,
berupa lapangan sepak bola, lapangan bola voly, dan lapangan tenis.
Sarana olahraga ini dapat di gunakan oleh pekerja dan masyarakat umum
secara cuma-cuma. Bahkan setiap satu tahun sekali digunakan untuk
mengadakan lomba olahraga dalam rangka merayakan hari kemerdekaan
Indonesia; (5) Sarana ibadah, setiap afdeling didirikan sebuah
masjid, karena memang semua pekerja dan masyarakat umum beragama
Islam; (6) Transportasi, biasanya diberikan untuk pekerja yang
rumahnya berada di luar desa, jauh dari lokasi perkebunan. Biasanya
yang sering memanfaatkan sarana transportasi ini adalah para pekerja
musiman yang didatangkan dari luar daerah. Namun sekarang disediakan
truk angkutan untuk anak-anak sekolah, yang dimanfaatkan oleh anak
pekerja maupun masyarakat umum.
Berbagai
macam sarana dan fasilitas sosial ini, dimanfaatkan oleh pekerja dan
masyarakat umum secara maksimal, mengingat lokasi perkebunan jauh
dari perkotaan. Sehingga perusahaan perkebunan menyediakan
fasilitas-fasilitas penunjang demi kelancaran pekerjaannya.
Beroperasinya perusahaan perkebunan merupakan pemicu bagi terjadinya
perubahan sosial di kalangan masyarakat perkebunan. Aktifitas
perkebunan yang melibatkat sebagian besar masyarakat sekitar,
merupakan faktor penggerak roda perubahan sosial masyarakat pedesaan.
Masyarakat tidak lagi puas terhadap keadaan sosial bersifat
tradisional yang dialaminya dimasa lampau dan saat ini. Seiring
berjalannya waktu pola pikir masyarakat pedesaan telah berkembang dan
berubah, mereka kini tidak lagi puas dengan profesi sebagai pekerja
perkebunan yang mereka alami. Orang-orang berlomba-lomba
menyekolahkan anaknya, pertama untuk mengubah nasib tetapi
lebih-lebih untuk mempertinggi status sosial. Perlahan mereka
menabung untuk membiayai anak-anaknya sekolah. Aspek pendidikan mulai
mereka perhatikan, karena menurut mereka, untuk menjalani kehidupan
di masa yang akan datang, tidak lagi mengandalkan kekuatan otot,
namun dengan kekuatan otak. Dengan adanya pola pikir yang demikian,
masyarakat pedesaan mulai menyekolahkan anak-anaknya sampai SMA
bahkan Perguruan Tinggi.
Perubahan
status sosial lainnya, yaitu tercipta melalui mobilitas penduduk yang
keluar dan yang masuk di Desa Kalianyar. Mobilitas ini mengakibatkan
masyarakat terlibat dalam hubungan interaksi dengan masyarakat di
luar Kecamatan Sempol. Hal ini kemudian berpengaruh terhadap pola
pikir masyarakat Desa Kalianyar yang lebih bersifat terbuka dalam
menerima pengaruh dari luar. Perbaikan jalan menuju Desa
Kalianyar, menimbulkan suatu mobilitas yang tinggi oleh masyarakat
sekitar. Kondisi jalan yang harus dilalui untuk menuju ke kota sudah
bagus dan beraspal semua, hanya saja medan yang harus dilalui naik,
turun, miring, dan rawan longsor, karena melewati tebing-tebing yang
sangat tinggi. Adanya kondisi jalan dan fasilitas angkutan umum yang
memadai, semua itu dapat memperlancar masuk dan keluarnya informasi
dari luar ke dalam, begitu pula sebaliknya, sehingga terciptalah
sebuah percampuran budaya. Misalnya adanya keinginan kesamaan gaya
hidup yang dimiliki masyarakat kota. Contoh, gaya hidup seperti
berpakaian yang menurut masyarakat perkebunan masih ketinggalan zaman
atau ketinggalan mode, dengan melihat masyarakat kota yang gaya
berpakaiannya terlihat rapi dan model terbaru, tentu akan ditiru
dengan anggapan gaya hidup mereka sudah modern. Selain gaya
berpakaian, ada juga kepemilikan handphone, walaupun hanya operator
telkomsel yang bisa digunakan untuk mengakses signal di wilayah
Kalianyar, dan itupun apabila terjadi cuaca buruk, signal sering
hilang dan sulit diakses. Di samping itu, terdapat pula gaya
kepemilikan barang-barang pribadi lainnya yang dimiliki masyarakat
kota dan ditiru oleh masyarakat desa.
4.
Dampak Ekonomi
Keberadaan
Perkebunan Blawan membawa pengaruh bagi perkembangan perekonomian
masyarakat setempat. Hal tersebut dapat dilihat dari pendapatan yang
diterima masyarakat setempat dari perkebunan digunakan sebagai
pemenuhan kehidupan sehari-hari. Efendy, salah satu pekerja
Perkebunan Blawan yang mempunyai golongan III A dengan posisi sebagai
asisten tanaman. Golongan III A saat ini tidak begitu saja beliau
dapatkan dengan mudah. Efendy memulai kariernya sejak lulus dari
Universitas Jember sebagai sarjana pertanian tahun 2004. Sepuluh
tahun bekerja di PTPN XII, Efendy mengalami perpindahan tempat kerja
selama berkali-kali, hingga akhirnya berlabuh di Perkebunan Blawan.
Penghasilan yang diperoleh Efendy terdiri dari gaji pokok, tunjangan
jabatan, tunjangan fungsional, apabila dijumlah berkisar Rp.
5.000.000,- setiap bulan, kadang-kadang juga mendapat jasa produksi.
Dengan penghasilan demikian, Efendy menghidupi satu orang istri dan
dua orang anak. Saat ini beliau tinggal di salah satu perumahan milik
Perkebunan Blawan, dengan fasilitas listrik dan air gratis dari
perkebunan. Sehingga tanggungjawab yang perlu dipenuhi setiap
bulannya, yaitu kebutuhan sehari-hari, seperti membeli beras,
lauk-pauk, dan lain-lain, yang setiap bulan berkisar Rp.
1.000.000,00. Dengan demikian, pengaruh perkebunan dapat dirasakan
Efendy secara nyata, yang pada intinya pendapatan yang diperolehnya
lebih besar dari pengeluaran, hal tersebut menjadi motivasi
tersendiri bagi Efendy untuk menekuni pekerjaannya (Wawancara dengan
Efendy, Bondowoso 21 Maret 2014).
Perubahan
ekonomi masyarakat yang terjadi di sekitar perkebunan selain didapat
dari upah yang diterima pekerja perkebunan, tetapi juga berasal dari
kegiatan lain, misalnya bertani, beternak dan berdagang. Salah satu
pekerja perkebunan yang melakukan kegiatan ekonomi lain adalah Ahmad
Munir dan Sutomo, yang mempunyai beberapa hewan ternak, berupa
kambing. Penyediaan modal hewan ternak yang dikembangkan oleh
masyarakat sekitar Perkebunan Blawan dapat diperoleh dari dua sumber,
yaitu pertama dari modal pribadi. Ke dua dari talangan hewan ternak
yang diberikan oleh pihak perkebunan kepada masyarakat. Talangan
hewan ternak ini dikelola oleh perkebunan dengan suatu wadah yang
diberi nama Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL). Program ini
didirikan pada tahun 1990, setiap tahun mengeluarkan dana sebesar 360
juta untuk 60 hewan ternak.
Prosedur
yang harus dilalui untuk mendapatkan dana talangan hewan ternak dari
PKBL, melalui beberapa kesepakatan antara penerima talangan dengan
pihak perkebunan terlebih dahulu. Awalnya pihak perkebunan memberikan
dana talangan sebesar 6 juta rupiah, dana tersebut akan dimanfaatkan
untuk membeli hewan ternak berupa sapi. Sistem pengembalian dana
talangan tersebut, berjangka waktu 2 tahun, dengan bunga 0,5 % per
tahunnya. Pengembalian tersebut dapat dilakukan dengan proses
angsuran, dapat pula dengan cara tunai sesuai kehendak penerima dana
talangan. Keuntungan yang dirasakan oleh penerima dana talangan dapat
dirasakan sepenuhnya, karena bunga yang harus mereka banyar tidak
begitu besar.
Selain
kegiatan peternakan, terdapat pula kegiatan pertanian dengan
memanfaatkan lahan milik perkebunan dan perhutani. Pertanian yang
dilakukan oleh masyarakat sekitar perkebunan, beragam dari
sayur-sayuran, hingga palawija. Kegiatan pertanian ini selain
memberikan keuntungan bagi petani penanam, pedagang dari luar
Kecamatan Sempol, tetapi juga memberikan peluang lapangan kerja baru
bagi masyarakat sekitar. Peluang kerja tersebut berkaitan dengan
proses penanaman, perawatan, hingga pemanenan. Pekerja perkebunan
yang mempunyai kegiatan bertani, misalnya pertanian sayuran, tingkat
perekonomiannya jauh lebih tinggi daripada hanya mengandalkan
penghasilan dari perkebunan. Harga sayuran, berupa kobis saat ini
mencapai 1500 rupiah per kilogram. Apabila lahan yang digunakan
seluas 1 hektar, dengan modal yang harus dikeluarkan petani, mulai
dari pembibitan, penanaman, perawatan sampai dengan ongkos tenaga
kerja sebesar 10 juta rupiah, lahan tersebut dapat menghasilkan 15
sampai 20 ton kobis, sehingga keuntungan yang diterima cukup banyak.
Keuntungan
tersebut, membuat masyarakat yang pada awalnya mempunyai tingkat
perekonomian sederhana, meningkat menjadi perekonomian yang sangat
baik. Sehingga muncullah suatu pemikiran baru bahwa petani yang
sukses dan kaya merupakan elite desa yang cenderung mempunyai tingkat
gengsi tinggi sejalan dengan perubahan tingkat ekonomi dan sosial di
mata masyarakat (Koentjaraningrat, 1984: 31). Tingkat kesuksesan yang
dimiliki oleh masyarakat pedesaan biasanya diukur dengan kepemilikan
barang yang dimilikinya, seperti barang yang sifatnya sebagai barang
simpanan yang mempunyai nilai jual tinggi, misalnya perhiasan emas.
Selain itu, ada pula yang memanfaatkan uangnya untuk membeli
kendaraan bermotor, pik up, truk bahkan mobil pribadi. Tidak berhenti
pada emas dan kendaraan saja, masyarakat pedesaan, khususnya Desa
Kalianyar, juga menggunakan uangnya untuk memenuhi kebutuhan
sekunder, seperti membeli perabotan rumah tangga, seperti televisi,
kulkas, handphone dan sebagainya.
Beragamnya
aktivitas perekonomian yang ada di masyarakat Desa Kalianyar, mulai
dari pekerja perkebunan, pertanian, peternakan, dan perdagangan,
memicu semua anggota keluarga dialokasikan pada seluruh pekerjaan,
sesuai kapasitas masing-masing (Soegijanto Padmo, 2005: 8). Anggota
keluarga laki-laki, akan melakukan kegiatan menyiapkan lahan, membuat
pembibitan, mencari rumput untuk hewan ternaknya, dan melakukan
aktivitas perkebunan. Sementara itu, wanita akan melakukan kegiatan
seperti menanam bibit, memelihara tanaman, memberi makan hewan
ternak, dan melakukan aktivitas perkebunan. Anak-anak akan diminta
mengerjakan pekerjaan yang lebih ringan seperti menjaga adik-adiknya,
membersihkan perabotan rumah dan lain sebagainya. Adanya sistem bagi
tugas antar keluarga, meringankan dan memudahkan masyarakat untuk
fokus pada pekerjaan masing-masing.
KESIMPULAN
Perkebunan
lahir di Indonesia pada zaman pemerintahan kolonial Belanda yang
sengaja dikenalkan dan dibangun demi
kepentingan kolonial Belanda. Pembangunan pada sektor
perkebunan ini, nampaknya diiringi dengan berdirinya
perusahaan-perusahaan perkebunan di daerah tertentu berdasarkan
kondisi geografis, geologis, dan ekologi yang mendukung untuk
ditanami komoditi perkebunan. Desa Kalianyar, merupakan salah satu
desa yang ada di wilayah Kecamatan Sempol Kabupaten Bondowoso. Desa
Kalianyar berada di lereng Gunung Ijen, sehingga mempunyai suhu udara
yang dingin, tanah yang subur, curah hujan yang cukup tinggi, dan
aliran sungai memadai. Keadaan tersebut menjadi faktor yang sangat
penting untuk mendirikan areal perkebunan kopi.
PTPN
XII Perkebunan Blawan merupakan salah satu perusahaan perkebunan kopi
yang berada di Kecamatan Sempol Kabupaten Bondowoso. Perusahaan
perkebunan kopi yang dibangun oleh Belanda sejak tahun 1894 ini
mengalami berbagai perkembangan. Di antaranya, (1) Perkebunan Blawan
melakukan inovasi-inovasi terhadap produk unggulan, yaitu pada tahun
1998 lahir specialty Java Coffe Blawan, sebagai bukti bahwa
Perkebunan Blawan melakukan inovasi terhadap produk unggulannya; (2)
Perubahan sistem manajemen perusahaan yang lebih terorganisir dan
pengembangan agrowisata; (3) Perubahan jumlah tenaga kerja, yang
terjadi pada tahun 1998 sampai dengan 2012, perubahan jumlah tenaga
kerja, khususnya pekerja harian lepas, berkaitan erat dengan hasil
pembuahan pohon kopi, yang memerlukan tenaga kerja untuk proses
pemanenan; (4) Peningkatan proses budidaya kopi, antara lain dengan
memaksimalkan kebutuhan pohon kopi agar tetap mengalami keseimbangan
pembuahan, yaitu dengan melakukan peremajaan, pemupukan dan lain
sebagainya; (5) Adanya perubahan jumlah produksi dari tahun ke tahun,
menunjukkan bahwa keberadaan Perkebunan Blawan mampu menjaga
eksistensinya secara kontinuitas.
Perkembangan
perkebunan yang meliputi beberapa aspek tersebut, berpengaruh
terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat sekitar perkebunan.
Pengaruh yang ditimbulkan oleh keberadaan perkebunan kopi, dapat
berupa pengaruh positif dan sebaliknya, akan menimbulkan dampak
negatif yang merugikan masyarakat sekitar. Berdirinya PTPN XII
Perkebunan Blawan ini, memberikan pengaruh positif bagi masyarakat
sekitar perkebunan. Masyarakat sekitar mendapat lapangan pekerjaan,
dengan menjadi pekerja harian di perkebunan, dan sekaligus sebagai
sumber pendapatan bagi keluarga pekerja. Sementara itu, para pekerja
juga mendapatkan fasilitas tanah, rumah, yang dapat dimanfaatkan
selama mereka bekerja di perkebunan. Pihak perkebunan juga
menyediakan sarana dan prasarana untuk kebutuhan sehari-hari
masyarakat sekitar, seperti balai pengobatan, listrik, air, tempat
ibadah yang berupa masjid dan lapangan olahraga. Pembangunan sarana
dan prasarana tersebut bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
supaya mendapatkan kesejahteraan hidup yang layak.
Sementara
itu, disamping terdapat berbagai upaya yang dilakukan oleh pihak
perkebunan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup yang layak,
masyarakat setempat juga selalu berusaha melakukan aktifitas lain di
luar perkebunan, antara lain pertanian sayur, peternakan dan
perdagangan. Usaha tersebut perlahan-lahan membuahkan hasil,
perekonomian masyarakat mulai meningkat. Perubahan tersebut semakin
nampak ketika mereka bisa memenuhi kebutuhan sekunder, seperti
memiliki motor, perhiasan emas, perabotan rumah tangga, handphone,
dan lain-lain. Selain perubahan ekonomi, terjadi pula perubahan
sosial yang mempengaruhi pola pikir masyarakat akan pentingnya
pendidikan. Serta diiringi dengan perubahan pola hidup yang
dipengaruhi oleh budaya asing, misalnya penyesuaian cara berpakaian
dengan zamannya, beragamnya makanan yang mereka konsumsi dan lain
sebagainya.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim.
WARTA.
Jember: Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2000.
Haryanto,
Sindung. Sosiologi Ekonomi.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 2011.
Kartodirdjo,
Sartono dan Djoko Suryo, Sejarah
Perkebunan Di Indonesia : Kajian Sosial Ekonomi.
Yogyakarta: Aditya Media, 1991.
Koentjaraningrat.
Kebudayaan
Jawa,
Jakarta: Balai Pustaka, 1984.
Kuntowijiyo.
Pengantar Ilmu Sejarah.
Yogyakarta: Bentang Budaya, 2005.
Padmo,
Soegijanto, dkk. Jawa
Abad XX Perkebunan dan Dinamika Pedesaan,
Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 2005.
PTPN
XII Perkebunan Blawan. Selayang
pandang Kebun Blawan Tahun 1996-2010.
Bondowoso: Kebun Blawan, 2010.
Retnandari,
N.D, dkk,. Kopi Kajian Sosial Ekonomi.
Yogyakarta: Aditya Media, 1991.
Rahardjo,
Mudjia. Sosiologi Pedesaan: Studi Perubahan Sosial.
Malang: UIN-Malang Press, 2007.
Spillane,
James J. Komoditi Kopi Peranannya Dalam
Perekonomian Indonesia, Yogyakarta :
Kanisius, 1990